Ahad 31 Aug 2014 15:52 WIB

Nikmati Saja Keindahannya ...

Red: operator

Tak hanya jenisnya yang luar biasa banyak, cara membuatnya pun unik.

Sepanjang jalan berliku di balik rerimbunan pohon mencuat tanduktanduk rumah bagonjong. Rumahrumah kayu yang sudah tua itu menimbulkan kesan yang hangat sekaligus indah yang masuk dan langsung terekam lewat lensa mata. Berbagai rumah gadang bagonjong akan Anda nikmati dalam perjalanan di Sumatra Barat.

Di kawasan Agam yang dipeluk gunung Marapi, Singgalang, dan Bukit Barisan, Anda akan menemukan rumah-rumah gadang dengan pintu masuk lewat belakang. Di Koto Gadang, rumah gadang dengan tangga batu melengkung.

Ada berapa banyak jenis rumah gadang? Dr Eko Alvares, dosen arsitektur Universitas Bung Hatta tergelak ketika saya menyinggung soal ragam rumah gadang. `'Banyak sekali, mau dilihat dari apanya?Pintu masuknya? Rumah gadang bentuk gajah mahram, masuknya dari belakang. Ada yang dari depan, samping. Mau lihat dari atapnya?Apanya?'' katanya.

Namun, konsultan arsitektur heritage, Dr Osrifoel Oesman memberi pegangan mudah untuk mengenali bentuk asli rumah gadang.Yakni, memiliki empat gonjong, menggunakan tangga kayu, terutama tangga yang dapat dipindah-pindah, tidak memakai semen.`'Penutup atapnya ijuk. Dulu ijuk, sekarang seng,'' jelas dia.

Selain ada banyak jenis rumah gadang, perubahan zaman pun membawa perubahan pada selera dan bentuk rumah tradisional minangkabau itu. Orang biasa menyebut rumah gadang dengan menyebut jumlah ruangnya. Rumah gadang sembilan ruang, misalnya, bisa ditandai jumlah delapan jendela.

Jumlah ruang yang banyak kini tinggal hitungan jari. Di Nagari Tuo Pariangan, Angku Jamaluddin Dt Mangkuto bercerita, rumah gadang 11 ruang sudah habis sejak tahun 1950-an. Rumah gadang 9 ruang masih tersisa, namun sudah tak bisa dihuni karena rusak berat. `'Paling banyak yang ada lima ruang,'' kata pria kelahiran awal 1935 itu.

Rumah gadang, menurut Eko, sulit diharapkan berumur hingga ratusan tahun karena terbuat dari kayu. Umur tertua yang ditemukan kira-kira 350 tahunan. Eko dan para pecinta budaya Minangkabau agak berlega hati. Pada 2013 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menyatakan rumah gadang sebagai warisan tak benda.

Tak harus bagonjong Oesrifoel Oesman, enggan menyebut rumah gadang hanya dari fisiknya. Rumah gadang, jelas dia, adalah rumah adat masih menjalani prosesi adat secara murni, batagak penghulu, kelahiran, kematian, pernikahan dalam suku itu.Arsitek yang berasal dari pesisir Sumatra Barat ini meluruskan hal lain tentang rumah gadang. `'Atapnya tak harus bagonjong. Di ka wasan pesisir tidak ada gon jongnya,'' ungkapnya.

Asal gonjong yang curam itu, menurut dia, adalah penyikapan terhadap lingkungan. Gonjong de ngan curaman banyak terdapat di kawasan tengah. `'Sebab, kawasan Bukit Barisan curah hujannya tinggi,'' kata dia.

Menurut Oesrifoel, atap gonjong hilang dari pesisir setelah masuknya Aceh. Atap tungkuih nasi yang kemudian digunakan banyak kena pengaruh bentuk atap di Aceh.

Sementara itu, Prof Gusti Asnan, guru besar sejarah dari Universitas Andalas mengajak untuk menengok lagi alam pesisir. Atap bagonjong tidak cocok dengan angin kencang yang kerap melanda pesisir. `'Bisa terbang semua atap gonjongnya,''

kata dia.

Lebih lanjut Osrifoel mengajak memperhatikan rumah tradisional minang ini lebih teliti. Bentuk bangunan rumah mirip bentuk perahu.`'Bentuknya melengkung,'' ujar dia.

Ia memperkirakan bentuk perahu itu dulu berawal saat sungaisungai di Sumatra Barat masih besar dan deras. Sungai-sungai itu bisa dilayari kapal besar dari mancanegara. Dan, bentuk itu pun diadopsi masyarakat.

Membangun kembali Belakangan ini pun muncul gerakan membangun kembali rumah gadang. Eko membangun lima buah rumah di Sumpur. Menurut dia, yang menjadi sasaran utamanya bukanlah pada membangun rumah gadang. `'Cara membangunnyalah yang lebih penting,'' katanya.

Membangun rumah gadang di era modern ini membentur sederet kendala. Mulai kayu yang mahal dan jumlahnya yang sangat sedikit.

Kayu yang diperlukan untuk membuat rumah gadang yang bagus adalah kayu juha dan kayu bayua yang sulit didapat di pasaran. Belum lagi amat sedikit tukang senior yang tahu benar cara membuat rumah gadang seperti yang seharusnya.

Proyek yang dimulai sekitar delapan bulan lalu itu sudah 70 persen rampung. Dalam prosesnya begitu banyak perdebatan terjadi. Ternyata pengetahuan teknologi yang kaya tersimpan di balik pembuatan rumah tradisional itu. `'Misalnya, pengawetan kayu dan bambu dengan cara direndam. Sementara saya mempertanyakan, kenapa tak boleh dikeringkan dulu? Lalu, kalau direndam di mana sekarang kolam ikannya?'' ungkap Eko,''Ternyata tak ada pengetahuan yang absolut.''Cara pembuatan rumah gadang memang unik. Termasuk ukurannya.

`'Ukuran yang dipakai hasta yang punya rumah,'' kata Osrifoel. Belum lagi pemasangan tiang yang agak miring sekitar 5-10 derajat.Persis seperti kerja seniman, ungkap Ismet Katik Batuah, tentang cara membuat rumah gadang. Contohnya, saat membuat gonjong.`'Cuma pakai perasaan saja,'' kata dia, `'Satu orang di atas, satu orang di bawah, memberi aba-aba.''

Maka, saat melewati rumah gadang di sepanjang jalan, di jo rong-jorong yang teduh, nikmatilah tanpa perlu sibuk  mengklasifikasikan. Nikmati saja pemandangannya dalam bingkai mata Anda.

Mak Katik, Pembuat Rumah Gadang

Sulit benar mencari Mak Katik, Paman Sati. Hari ini dia sedang ke Padang. Keesokannya ia bekerja di nagari tetangga. Maka, seorang teman telah memintakan waktu untuk me ne mui kami. Dan, Kamis itu, ia me ne patinya. Bahkan, ia menganta r kan kami melihat sejumlah rumah gadang di Canduang.

Ismet Katik Batuah (65 tahun), begitu nama tukang membuat rumah gadang ternama dan mahir dari Canduang itu. Canduang, sebuah kecamatan di Kabupaten Agam, sejak lama terkenal dengan orang-orang nya yang terampil mempergunakan peralatan untuk bertukang. Namun, membuat rumah gadang kini tak lagi banyak yang menekuni.

`'Ada yang bisa, tapi sehari-hari nya dia bekerja di kantor,'' katanya. Ia mencontohkan anaknya. Mengerti dasar-dasar membuat rumah ga dang, pernah diajak bersama membangun rumah tradisional minang itu toh tak berniat menekuni profesi sang ayah. Anak laki-lakinya itu memilih bekerja di hotel.

Mak Katik sudah sejak usia SD su dah ikut membantu membangun ru mah gadang. Ia membantu kakek dan ayah nya. Ia kerap bermain membuat mainan seperti maket rumah ga dang, kincir air, dan sangkar burung dari pim ping. Karenanya, sekolah pun ia ma suk sekolah teknik menengah (STM).

Membuat rumah gadang, jelas Mak Katik banyak membutuhkan tek nik yang tak digunakan pada pembuatan bangunan biasa. `'Orang pa kai benang bukan untuk mendapat kan yang lurus, tapi untuk mengikuti bentuk,'' katanya menyebut salah satu contoh keanehan itu.

Alatnya pun sebagian unik. Ada ban ci, semacam cangkul kecil untuk tiang kayu, ada pahat yang ukurannya pan jang. Bekerja untuk bidang spe sifik seperti itu, tak ada tempat belajar yang baik, kecuali coba-coba dan belajar dengan praktik lang sung. `'Soal nya tidak ada sekolahnya,'' katanya.

Mak Katik sudah membuat ru mah gadang di banyak tempat. Tak per nah ia menghitung berapa jumlahnya.Mulai dari seputar Sumatra Barat hingga menyeberang ke Pulau Jawa.

Bekerja membuat rumah gadang, menurut Mak Katik, bagaikan kerja seniman. Pekerjaan yang sulit dipatok batas waktu. Sebab, terkadang pembangunan tertunda, sampai sang pembuat moodmelakukannya.Namun, jasa membuat rumah ga dang juga diukur pekerjaan per meter. Rp 400 ribuRp 500 ribu per meter.Untuk membuat rumah ga dang, tak selalu dengan banyak orang. Ia pernah mengerjakan sebuah rumah di tangerang bertiga dengan anaknya.

Kecintaan Mak Katik pada rumah gadang amat terasa saat ia mengajak kami melihat sejumlah rumah ga dang yang menarik di Canduang.

Ber kendara melewati jalan naik turun berbatu-batu di kaki Gunung Marapi itu, ia mencaritakan ma singmasing rumah. Sebuah rumah gadang Kampung Surau Tarandam berwarna cokelat tanpa cat terlihat masih gagah. `'Umurnya 120 tahun lebih,'' katanya.Yang ini bagusnya di sini, yang itu bagusnya di situ ...

Ukiran Candung Mak Sati

Penelusuran ukiran rumah ga dang membawa saya pada dae rah Pandai Sikek. Tapi, seorang teman yang penulis travel, memberi alternatif lain: Canduang. `'Canduang salah satu asal ukiran minang yang nyaris punah,'' katanya dengan meyakinkan. Ia lantas menyinggung bukti tertulis dari disertasi doktoral Ibenzani Usman di ITB pada 1985 yang lantas saya telusuri.

Pencarian di lapangan bantu anak nagari Canduang membawa saya ke sebuah rumah dengan sanggar kayu di sampingnya. Bulkanedi Sati Batu ah, sang pemilik rumah, orang-orang Canduang menyapanya Mak Sati.

Tak banyak ukiran yang dipa mer kan di ruang tamu yang menunjuk kan bahwa si empunya rumah adalah orang yang masih memelihara tradisi ukir minang lama. `'Pembangunan rumah gadang boleh dianggap tidak jalan lagi, yang ada cuma pemugaran-pemugaran,'' kata pria kela hir an 1962 ini membuka percakapan.

Konsekuensi pembangunan yang nyaris tak ada, pembuatan ukiran ru mah gadang pun amat jarang. Karena itu, Mak Sati, begitu sapaan warga Canduang, lebih banyak menerima order pembangunan gedung perkantoran dan rumah makan. `'Pesanan pribadi jarang,'' ungkapnya.

Keterampilan mengukir didapatnya dengan memperhatikan sang paman mengukir. Maka, setiap pulang sekolah Sati belajar sendiri. Lalu, keterampilannya itu ia pakai untuk pekerjaan prakarya di sekolah. `'Anak sekarang hanya betul-betul belajar pelajaran sekolah,'' katanya, `'Jadi, banyak yang tidak bisa ini dan itu.''

Dari pengalaman panjangnya mengukir motif tradisional minangkabau, Mak Sati menyimpan 64 dasar ukiran canduang. Di antaranya motif jalo taserak, bungo barito, itiak pulang patang, rajo tigo selo, harimau dalam parangkok, pisang sasikek.

Ukiran-ukiran itu memiliki aturan penempatan. Ada penempatan ukiran untuk rumah makan, kantor, dan rumah hunian. Pisang sasikek, misalnya, untuk rumah gadang, di ruang niniak mamak. Harimau dalam parangkokdipasang dalam gedung kantor pemerintahan pada ruangan untuk para pembesar. `'Harimau dalam parangkok, contohnya, dipasang di ruang VIP Bandara Minangkabau,'' kata dia.

Harga ukiran karya sanggar Mak Sati dinilai panjang per meternya.Harga ukiran di atas kayu surian itu antara Rp 700 ribu hingga Rp 2 juta tergantung dari tingkat kerumitannya.

Karena tak banyak order dari masyarakat umum, Mak Sati lebih sering menangani proyek pemerintah. `'Biasanya menggunakan jenis kayu yang murah dan minta pengerjaan yang cepat,'' kata dia. Di atas semua itu, order yang jarang membuat ia mencemaskan keberlang sung an tradisi ukir minang. Ia amat ingin menurunkan ilmunya pada anak-anak muda yang berminat penuh pada seni ukir minang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement