Ahad 28 Sep 2014 13:30 WIB

Menjenguk ‘Opa’ dari Kurulu

Red: operator

Oleh Nina Chairani-- Kunjungan ke Kurulu selalu masuk dalam rencana kunjungan ke Wamena.Mengapa?

Entah dari mana mereka datang tiba-tiba para lelaki berkoteka, tua dan muda, para ma ma, hingga anak-anak bermunculan di depan kami. Sontak buku Genderang Perang dari Wamenayang pernah saya baca sewaktu SD bagai mewujud.

Buku karya Djoko Lelono itu menggambarkan dua anak di negeri kincir angin yang menemukan genderang di dalam gudang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jari permpuan Suku Dani yang di potong karena kehilangan anggota keluarganya.

Setelah genderang itu dipukul, muncullah pemandangan orang-orang di Papua di hadapan mereka....Sementara itu, yang muncul di hadapan kami, para wanita tua dan muda mengenakan sali, `rok', rumbai-rumbai. Beberapa ada juga yang memakai rok kain atau celana selutut.

Ada yang sudah nenek-nenek, muda, dan ibu muda yang tengah menggendong balita menyambut kami dengan ramah.

Tak ketinggalan pula pria berkoteka-penutup alat kelamin yang terbuat dari jenis labu tertentu yang dibakar--yang pernah saya lihat di foto-foto kini terlihat dengan beragam bentuk kotekanya. Ada yang panjang diikatkan ujungnya ke pinggang, ada yang sedang, dan seorang remaja mengenakan koteka yang ujungnya melengkung-lengkung seperti spiral.

Berani bicara

Orang-orang dari Suku Dani itu keluar dari rumah-rumah di dalam kampung kecil di Jiwika, Distrik Kurulu itu. Kampung itu berbentuk huruf U dengan yang dimulai dari pintu bambu tempat kami masuk. Di sebelah kiri ujung seberang, ada sejenis dangau tempat menjual kerajinan noken, papua, kalung, bunga kertas, dan kalung. Total ada delapan buah honai bersisian yang menghadap halaman di tengah.

Baru beberapa menit terpana dengan pemandangan itu, tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan. Seorang lelaki yang tampaknya memimpin di sana menyahut dengan suara keras. Tampaknya mereka marah. Tak seberapa lama, rombongan kami berhenti.

`'Jangan memotret dulu,'' entah suara siapa, saling memberi tahu di antara kami.Rupanya kesepakatan soal pembayaran foto belum bulat. Setelah sahut-sahutan itu selesai, perempuan muda itu minta pembayaran dilakukan per orang. Sementara, pihak pemimpin mereka sepakat pembayaran borongan. Setelah beberapa menit perdebatan itu, kami dipersilakan memotret. Mau foto bersama boleh, mau satu per satu pun silakan.

Sebuah pertunjukan yang mengesankan.Bukan masalah perdebatan uang, tetapi bagaimana perempuan di suku itu berani menyatakan pendapatnya di depan umum.Sesi yang paling ditunggu-tunggu adalah mengeluarkan mumi. Mumi tua itu dikeluarkan dari honai yang paling ujung.

Sang panglima

Kecamatan Kurulu hanya sekitar setengah jam berkendara dari Wamena. Jaraknya sekitar 15 km. Lokasi mumi Wim Motok Mabel berada di sebelah kanan jalan. Amat mudah menemukannya karena ada papan penunjuk jalan.

Kampung kecil itu tak tampak menonjol di balik pagar bambu tertutup yang tinggi.Kami menunggu di lapangan parkir yang bersih dan teduh sebelum diizinkan masuk, yakni setelah ada kesepakatan di depan soal pembayaran pemotretan.

Begitulah awalnya. Sementara itu, sebagian dari anggota suku yang ada di luar, masuk dan berganti pakaian adat mereka di dalam.

Kini, tubuh lelaki yang duduk dengan kaki dilipat hingga ke dagu itu diletakkan di atas kayu. Tubuh itu menghitam. Ia dike luarkan dari pilamo, honai laki-laki, diletakkan di depannya.

Yoris Mabel, yang mengeluarkan sang mumi, bercerita tentang mumi itu. Mumi itu adalah jasad Wim Motok Mabel, seorang pang lima perang. Mumi yang diletakkan di dalam sebuah kotak kayu dan disimpan dalam pilamo, rumah adat khusus laki-laki dikeluarkan agar kami bisa menyaksikan langsung.

Informasi versi warga menunjukkan mumi yang bernama Wim Motok Mabel adalah ge nerasi ketujuh. Dulunya ia seorang kepala suku di Lembah Baliem. Hanya orang yang berjasa penting suku atau panglima perang yang jasadnya dimumikan.

Wim Motok Mabel bukan satu-satunya mumi di Wamena. Namun, mumi ini paling sering dikunjungi wisatawan dibanding mumi yang ada di Distrik Asologaima dan di Distrik Kurima, Kabupaten Yahokimo. Disebutkan mumi Wim berumur 371 tahun, dilihat berdasarkan jumlah kalung yang melingkar di lehernya. Kalung yang ditambahkan setiap lima tahun sekali melalui upacara pemotongan babi.

Setiap pengunjung boleh memotret dan berfoto bersama mumi. Saya pandangi tubuh lelaki di depan saya itu. Hanya iba terasa.

Entah berapa kali mumi itu dikeluarmasukkan ke dalam pilamo setiap harinya, setiap pekannya. Tubuh kering itu terlihat rapuh. Kawat membelit kakinya agar tidak rontok.

Kendati iba melihat sang mumi, tak urung ada juga rasa kagum yang menyeruak. Betapa tidak, mumi itu bisa membantu ekonomi keturunannya yang rata-rata bercocok tanam dan beternak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement