Dari informasi beberapa sesepuh setem pat, saya mencoba menelusuri beberapa kisah yang menceritakan asal mula desa Pameungpeuk. Satu cerita yang diyakini turun temurun, Pameungpeuk awalnya merupakan satu dari bagian wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran (10301579 M). Dulunya, desa ini masih bernama Desa Negara, berkaitan keberadaan Gunung Nagara yang memang tak jauh keberadaannya dari Desa Pameungpeuk.
Istilah Pameungpeuk barulah berawal saat Pajajaran tutup buku dan sebagian wilayahnya, termasuk Garut, menjadi bagian dari kekuasaan Sumedang Larang pada pertengahan abad ke-16. Di saat itulah, penyebaran Islam juga mulai masif masuk.
Satu cerita, Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun mendapat wasiat dari sang ayah, Pangeran Santri. Prabu Geusan Ulun diwasiati agar jika sang ayah nanti mangkat agar jasadnya dibuang ke aliran sungai. Jika jasad sang ayah tersangkut pada satu aliran sungai itu maka ditimbunlah sungai dengan batu-batuan dalam istilah Sunda disebut dipeupeuk ku batu. Artinya, jika tidak ada peristiwa pem bendungan tersebut, boleh jadi Kawedanan Pameungpeuk masihlah sebuah aliran sungai yang airnya jernih mengalir ke pantai Garut selatan.
Cerita yang kemudian meng antarkan saya meniti alir an sungai, Sungai Mandala kasih namanya. Sungai yang jernih mengalir di pinggiran Desa Pameungpeuk sebelah utara alunalun desa. Sungai Mandalakasih, ujar para orang tua setempat, merupakan sungai yang dulu bernama Sungai Cipalebuh.
Konon, nama Cipalebuh diambil dari kata lebuh, kata dalam bahasa sunda yang berarti tercebur. Lebuh berkaitan dengan banyaknya prajurit Prabu Geusan Ulun yang tercebur saat membendung aliran sungai.
Hebatnya, ternyata sisa dari batu peupeuk itu masih ada dan bisa dilihat hingga sekarang. Meski tidak utuh dan besar-besar, setidak nya masih dapat ditemui di sekitaran tepian Sungai Mandalakasih.
Tumpukan batu peupeuk itu masih di amankan di sekitar pekarangan rumah milik Asep Kusyana. Batu peupeuk berada di Kampung Kaum Kaler, di belakang masjid utama Alun-alun Pameungpeuk.
"Iya betul, batu peupeuk itu diyakini yang sekarang menjadi batu yang ditumpuk-tumpuk itu," ujar Asep, sang pemilik batu.
Sejak 20 tahun menghuni rumah yang ditumpangi batu itu, banyak para peneliti datang. Baik dari mahasiswa, arkeolog, maupun wisatawan. Namun, menurut Asep, belum ada yang memberikan informasi lebih jelas tentang kesejatian batu bersejarah tersebut. Hanya yang membuat dugaan itu menguat, letak batu itulah yang berada tepat pada siku berbeloknya aliran Sungai Cipalebuh atau Mandalakasih.