REPUBLIKA.CO.ID,Dari kesamaan nama antara situs batu di Bogor dan Kuningan, diduga antara keduanya ada hubungan yang patut dicermati.
Meski telah membayar kelelahan ini dengan puas bisa mencapai puncaknya, saya masih pulang membawa rasa penasaran. Setelah memperhatikan deretan situs purbakala ditambah relief kuno di puncak Gunung Tilu, saya baru sedikit menemukan petunjuk mengenai batu naga.
Kasi Budaya dan Sejarah Disparbud Kuningan Ritto memberikan saya sebuah salinan hasil dari penelusurannya tentang misteri batu naga selama tiga tahun terakhir. Rasa penasarannya yang gatal di kepala membuat ia mengaku selalu merasakan sebuah ketanggungan.
"Kalau saya dapat satu petunjuk, sayang rasanya untuk diam, saya kembangkan lagi, dan setiap dikembangkan makin rumit, tapi tanggung ya, jadi terus saja diulik sampai tidak terasa sudah tiga tahun lebih bergelut," kata Ritto.
Ritto berujar, setiap peninggalan purbakala di daerah Jawa Barat tak bisa serta merta dipisahkan perkotak-kotak. Mengingat bumi pasundan terikat dalam satu suku tidak menutup kemungkinan bahwa situs di suatu wilayah mempunyai hubungan dengan peninggalan purbakala di tempat lain.
Seperti yang coba ia hubungkan soal isi yang tertulis di Batu Tulis Bogor dengan Batu Naga di Jabranti, Dusun Banjaran, Kuningan. Ritto menegaskan, nama situs di puncak Gunung Tilu pun sebenarnya orisinal dikenal sebagai batu tulis. Hanya kedatangan beberapa arkeolog yang meneliti tempat tersebut lantas mereka memberikan nama batu naga.
Dari kesamaan nama antara si tus batu di Bogor dengan Kuningan, Ritto mengaku menemukan suatu hubungan yang patut untuk dicermati. "Simak isi terjemahan dari tulisan di batu tulis di Bogor ini," kata dia.
`Semoga selamat, tanda peringatan Prabu Ratu Almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewantarprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung- gunungan, membuat undakan untuk Hutan Samida, membuat Sahi yang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi'.
Dari isi batu tulis di Bogor ini, Ritto meyakini bahwa ada sesuatu yang berhubungan dengan Gunung Tilu di Kuningan. Kata `Gunatiga', diyakininya bermaksud untuk menunjuk pada situs batu tulis atau batu naga di Desa Jabranti, Dusun Banjaran.
"Jadi, saya meyakini, ada sesuatu yang lebih besar tersimpan di gunung itu, atau tak bisa kita berkata tidak bahwa bisa saja Gunung Tilu sama menimbun banyak peninggalan seperti Gunung Padang di Cianjur," klaimnya.
Kuningan dalam Rantai Prasejarah
Eksistensi dua situs yang diduga berasal dari tiga era berbeda di Kuningan yakni megalitikum, neolitikum hingga perunggu menunjukan ada satu tanda unik di kabupaten ini. Ritto mengatakan, perlu banyak penelitian dilakukan kembali di Kuningan, khususnya untuk Gunung Tilu.
Menurutnya, ragam peninggalan bebatuan kuno di Kuningan dapat mengungkap kepastian sejarah di tanah parahyangan. Terlebih, setidaknya sudah ada banyak peninggalan megalitikum yang ditampung oleh pemerintah setempat.
Bahkan di Taman Purbakala Cipari, masih tersimpan berkardus- kardus peninggalan megalitikum yang tak bisa dipajang karena saking menumpuknya. Ritto menunjuk Gunung Tilu sebagai situs maha penting yang bisa membuat isi buku sejarah di bangku-bangku sekolah berubah.
Kemungkinan besar, kata dia, ragam gambar dan bebatuan yang ter saji di puncak Gunung Tilu adalah tanda dari pergeseran zaman prasejarah menuju sejarah. Ia berujar, tanda-tanda yang disajikan di batu naga menunjukan adanya penanda asal muasal Kuniingan pimpinan Prabu Seuweukarma.
"Kan di masa Hindu-Budha masuk sangat kental nuansa gambar na ga dari kisah punakawan pewa yangan, jadi gambar di batu itu sangat terpengaruh oleh ajaran agama," ujarnya.
Bersamaan dengan perkembangan Hindu-Budha yang kental, daerah Kuningan yang dipimpin Prabu Seuweukarma mulai menunjukkan ragam seni kegamaannya. Dan Ritto meyakini, apa yang ditunjukan situs batu naga mengarah pada dugaan adanya tempat peribadatan di puncak Gunung Tilu.
Dia sepakat bahwa dataran tinggi memang kerap dianggap sebagai tempat paling tinggi dengan Sang Hyang oleh masyarakat Indonesia.
Entah itu zaman purbakala ataupun kini.
Dengan kentalnya pengaruh Hindu-Budha dalam kehidupan masyarakat kala itu, tak menutup ke mungkinan gambar-gambar yang tercantum di batu naga merujuk pada proses kegamaan.
"Ini perlu terus didalami, sayangnya memang untuk menjangkau situs itu luar biasa berat, saya mengundang para ahli sejarah atau arkeolog untuk meneliti misteri di atas Gunung Tilu itu," ujarnya.
Ketua Masyarakat Arkeologi Uni versitas Indonesia Dr Ali Akbar juga mengungkapkan pendapat segaris. Dia berujar, tak menutup ke- mungkinan pula bahwa gambar di situs batu naga berasl dari pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Pasalnya, menurut dia, laki-laki pelontos yang digambarkan dalam permukaan batu naga mirip dengan sosok semar dalam tokoh dunia pewayangan.
Kemunculan sosok semar yang mulai dikenal sejak era di akhir sebelum Masehi hingga awal Masehi diyakini menjadi karakter teladan masyarakat kala itu. "Semar kan sakti dan mirip dengan yang digambar di situs itu, ada kemungkinan juga ini pengaruh Hindu-Buddha," kata dia.
Ali mengatakan, demi menjawab misteri bebatuan di Kuningan serta harta apa yang tersimpan di setiap situsnya ini, dia siap mengemban misi penting di awal tahun 2015 ini.
ia berujar, telah membentuk program aplikatif untuk diterapkan kepada masyarakat Dusun Banjaran.
Program ini mengandalkan pengabdian masyarakat untuk dapat turut mengupas dan menjaga sejarah situs batu naga. "Kami buat dalam bentuk pelatihan dan pemanduan serta edukasi kepada warga Dusun Banjaran soal situs ini," ujarnya.
Dalam praktiknya, ia juga akan membangkitkan rasa kepemilikan warga Dusun Banjaran pada situs batu naga. Dimulai dari pemberian pelatihan pembuatan jalur pendakian di Gunung Tilu. Pasalnya menurut dia, hal ini menjadi dasar penting untuk dapat mengupas kebenaran yang ada di balik batu naga.
"Ke Dusun Banjaran saja jalannya sudah jelek, ini ditambah sulit untuk mendaki ke sana, jadi kami akan segera praktikkan dengan melibatkan masyarakat setempat," kata dia.
Tahu Lamping
Kuningan punya tahu khas, tahu lamping. Satu yang spesial, tahu dengan tekstur mirip tahu sumedang ini memiliki volume yang lebih padat. Isinya tetap berongga tapi tidak sekosong tahu sumedang. Dengan pinggiran kering kecokelatan, ukurannya yang sebesar kepalan tangan bayi membuat mulut sulit untuk tidak terus memakannya.
Saya memilih salah satu kedai di Jl Veteran Jagabaya, Kampung Cikentungan. Sebenarnya di jalan ini berjejer para penjaja tahu lamping. Ada sebelas jumlahnya. Kedai tahu lamping ini menggunakan nama lamping di plangnya dengan tambahan kata `Kuningan' di bawahnya.
Yeyen, begitu nama wanita pemilik kedai itu, bercerita para penjual tahu di sepanjang jalan ini dimiliki oleh satu para pedagang yang terhubung tali persaudaraan. "Kami dari orang asli sini, penjual saudara semua, malah di belakang kedai itu ada kampung, semuanya bikin tahu," ujar Yeyen masih sambil tak melepaskan spatula raksasanya.
Kedai seperti laiknya warung pinggir jalan ini terbuka. Tahu-tahu hasil penggorengannya berjejer di muka kedai menggoda para pelintas. Ada ribuan tahu hasil Yeyen menggoreng.
Semua dibiarkan bergeletak di atas meja selebar 3 meter x 1 meter. Masuk ke dalam kedai, ada seorang tua sedang mengaduk cairan kedelai dalam sebuah kuali berdiameter 1 meter.
Yeyen menyatakan dengan bangga bahwa ia berasal dari keluarga produsen tahu. Ayahnya memulai usaha ini pada 1950. Di lokasi yang sama saat itu Jl Veteran masih disesaki pohon laiknya hutan. Hanya ayahnya dan empat saudara di sekitar lokasi ini berinisiatif menjajakan tahu lamping, modifikasi dari tahu sumedang.
Konsep tahu lamping yang memberikan rasa asin ternyata disukai. Mereka yang bosan dengan gurih tawarnya tahu sumedang mulai melirik tahu lamping sebagai panganan wajib coba.
Sekitar 39 tahun kemudian, Yeyen si anak kelima mulai mengikuti jejak ayahnya. Satu buah tahu ia jual Rp 500.
Dalam tiga hari ia dapat meraup untung kotor Rp 16 juta.
Disedot ‘Vampir’
Saat sibuk menatap langkah kaki agar tidak salah injak, fokus saya beberapa kali selalu teralihkan ketika mendaki Gunung Tilu. Badan terasa gatal di beberap titik. Aneh, padahal rasanya tak mungkin nya muk bisa bersembunyi di balik baju hingga bebas menggigiti.
Untuk beberapa puluh menit, ketika mulai men dekati puncak Gunung Tilu saya tak menghiraukan rasa gatal itu. Tapi kemudian, gatal yang tadi hanya mengganggu karena harus digaruk kini berubah menjadi perih.
Saat itu kulit perut saya terasa sedang ditusuk peniti. Saya lalu mencoba menggaruknya. Sambil terus melangkah dan membasuh keringat, ibu jari dan telunjuk kanan saya menangkap sesuatu yang janggal di balik baju.
Saya lalu meremasnya dan rasanya ada sesuatu menempel di perut. Saya terus meremasnya dengan perasaan yang sedikit waswas.
Hewankah atau daunkah yang menempel ini?
Saat sampai di `pos kedua' saya baru menyadari ada makhluk kenyal berlendir yang tengah menggerayangi sekujur tubuh. Saat baju dibuka, di bagian dalamnya terdapat banyak hewan masih menggeliat di permukaan kulit. Bentuknya seperti korek api berwarna hijau mengkilat menempel tegak lurus vertikal.
"Hahahaha, nah itu namanya pacet," kata Pak Im pemandu pendakian ini.
Saya ikut tertawa. Tapi perasaan geli itu tak bisa dimungkiri.
Buru-buru saya cabuti satu persatu dari kaki hingga punggung. Tak mudah untuk melepaskan jeratan pacet.
Ketika saya tarik, ujung mulutnya yang berlubang seperti sedotan itu menempel erat.
Tak seperti lintah yang tinggal disentil untuk lepas dari jeratannya.
Saya tak sendiri, ketiga pendaki lainnya bernasib serupa. Menurut Im, tak perlu khawatir akan pacet.
Mereka akan melepaskan dirinya sendiri setelah tubuhnya mengembang.
"Lumayanlah, itung-itung donor darah,'' selorohnya, `'Yang penting jangan bunuh apa-apa di gunung, mah."
rep: Gilang Akbar Prambadi ed: Nina Chairani