Sudah lama Bahrawi berdiskusi dengan istrinya tentang keinginan dan rencana menunaikan ibadah haji. Bahkan, keinginan itu sudah dipendamnya sejak mereka menikah pada 1981.
Keinginan guru mengaji yang juga pengelola sebuah tarbiyatul atfal di desanya untuk menjadi tamu Allah itu baru akan terwujud tahun ini. ''Saya sudah menyelesaikan kewajiban di Kementerian Agama dan kini tengah mengikuti berbagai persiapan, termasuk pemeriksan kesehatan dan mengikuti pelatihan manasik haij,'' kata Bahrawi kepada Republika, Selasa (2/9).
Bahrawi berasal dari Desa Jakan Parseh, Kecamatan Soddakh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Tapi, dia memutuskan mendaftar menunaikan haji melalui Bali bersama sejumlah keluarganya. Mereka mendaftar haji lima tahun lalu. Total seluruhnya ada 11 orang. Tapi, akhirnya yang akan berangkat hanya 10 orang karena satu orang meninggal dunia sebulan yang lalu.
Persiapan Bahrawi untuk menunaikan ibadah haji dilaluinya dengan perjuangan berat. Tapi, semua rintangan dilaluinya dengan berbesar hati. Lima tahun lalu, Bahrawi mengatakan, dia dan istrinya mendaftar haji melalui Bank Muamalat, tapi hanya memiliki dana Rp 20 juta. Padahal, uang muka haji saat itu 25 juta.
''Oleh pihak bank, saya ditawari pinjaman untuk menutupi kekurangan uang muka agar saya bisa berangkat dengan istri," katanya.
Beberapa bulan lalu, dia mendapat kabar sudah berhak berangkat, tapi terlebih dahulu harus melunasi pinjaman talangan uang muka yang masih tersisa Rp 4,5 juta. Padahal, kata Bahrawi, saat itu dia belum memegang uang untuk membayar kekurangan. Bahrawi akhirnya mendapat pinjaman dari mertuanya untuk menutupi kekurangan itu.
Bahrawi adalah seorang penambang batu kapur. Dari hasil menjual batu kapur itulah dia menambung dan mencicil talangan hajinya. Sebagian lagi disisihkannya untuk biaya sekolah empat orang anaknya.
Kendati punya lembaga pendidikan, Bahrawi mengatakan, tidak mengambil sepeser pun dari uang sumbangan pendidikan (SPP) santrinya. Di lembaga pendidikan yang dikelolanya, ada sekitar 300 orang siswa. Mereka dikenakan biaya pendidikan sebesar Rp 8.000 per bulan. Tapi, kenyataannya, setiap bulannya hanya sekitar 250 anak yang membayar.
Menurutunya, uang yang terkumpul dipakainya membayar gaji para guru yang berjumlah 13 orang. "Jadi, bagaimana mungkin saya tega mengambil uang itu. Untuk membayar gaji para guru saja sudah sangat minim," katanya.
Menjadi tukang batu kapur sebenarnya bukan cita-citanya. Selepas dari pondok pesantren di Sidogiri, Jawa Timur, dia membeli mobil pikap pengangkut barang yang dikemudikannya sendiri. Dengan menjadi sopir, dia mengaku memperoleh hasil yang bagus. Namun, di sisi lain, dia merasa semakin jauh dari ibadah kepada Tuhan. Shalat lima waktu memang tak pernah ditinggalkannya. Akan tetapi, ia kerap tidak bisa melaksanakan shalat berjamaah.
Akhirnya, Bahrawi banting setir. Mobil pikapnya dijual dan menjadi seorang penambang batu kapur. Keputusannya itu didukung sang istri. Dari hasil menambang batu kapur itu, ia bisa menabung dan akhirnya menyelesaikan kewajibannya membayar biaya berhaji. "Saya hanya berharap menjadi haji mabrur," katanya. rep:ahmad baraas ed: andi nur aminah