Semasa muda, Deddy Mulyana termasuk beruntung karena bisa berulang kali pergi ke luar negeri. Begitu banyak negara sudah disinggahi Deddy, mulai Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan masih banyak negara lainnya.
Semua perjalanan Deddy umumnya tidak terlepas dari kegiatan akademik yang digelutinya. Meski sudah menyinggahi banyak negara, ada satu tempat yang selalu dirindukannya.
Foto:Dokumen Pribadi
"Kenyataannya, seberapa sering pun saya menyambangi mancanegara, di hati kecil saya selalu saja ada keinginan yang kuat untuk bisa menunaikan haji ke Makkah," tutur Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) itu kepada Republika, Rabu (4/9) lalu.
Penulis buku Santri-Santri Bule itu bersyukur Allah memberikan kesempatan untuk menjalankan rukun Islam yang kelima itu dua kali. Haji yang pertama ia tunaikan pada 1995. Berikutnya, Deddy kembali ke Tanah Suci pada 2007.
Deddy mengaku, peluangnya untuk berhaji sebenarnya sempat mampir pada 1986. Deddy yang masih berumur 28 tahun, baru saja merampungkan program masternya di Illinois, Amerika Serikat. Ketika itu, Deddy memiliki sejumlah tabungan yang ia niatkan untuk membiayai perjalanan ke Arab Saudi.
"Saya sebenarnya sudah punya niat untuk naik haji. Karena begitu studi saya di sana selesai, saya masih memiliki sisa tabungan yang cukup besar," ujarnya.
Akan tetapi, Deddy terpaksa memendam impian tersebut. Keluarganya di Indonesia meminta alumni Unpad itu untuk segera pulang ke Tanah Air. "Setahun sebelumnya (1985), ibu saya meninggal dunia. Sementara ayah saya sudah lebih dulu tutup usia pada 1977. Dengan kondisi tersebut, enam orang adik saya yang saat itu sudah menjadi yatim-piatu menginginkan saya agar langsung pulang saja," ungkapnya.
Deddy pun mengaku sempat kecewa karena impiannya tidak jadi terwujud. Namun, kesabaran ternyata berbuah manis. Kesempatan untuk berhaji kembali menyapanya pada 1995, tatkala ia tengah menyelesaikan program doktornya (S-3) di Monash University, Melbourne, Australia.
Di pengujung studinya tersebut, ia mengajukan diri untuk menunaikan ibadah haji kepada pihak sponsor yang telah membiayai pendidikannya selama di Negeri Kanguru. Hanya, ada sedikit pertaruhan baginya untuk berangkat haji. "Jika sekembalinya dari Makkah saya masih membutuhkan perpanjangan beasiswa, maka mereka tidak akan mengabulkannya lagi," kata Deddy.
Nyali Deddy tidak surut. Niatnya untuk berangkat tetap kukuh. Deddy akhirnya memutuskan untuk tetap melaksanakan haji. Ketika itu, ia berangkat ke Tanah Suci bersama sejumlah warga Muslim lainnya dari Melbourne.
Dalam perjalanannya, rombongan tersebut sempat pula singgah lebih dulu ke Malaysia dan India. Rombongan itu pun bertambah gemuk dengan jamaah calon haji multietnik yang berasal dari Fiji, Australia, dan Malaysia.
Sesampainya di Masjidil Haram, dia merasa sangat terharu. Tanpa disadari, air matanya bercucuran begitu menginjakkan kaki di tempat suci tersebut. "Saya tidak tahu mengapa. Tapi tanpa dikomando, saya tiba-tiba jadi menangis sendiri," kenangnya.
Selama berada di Tanah Suci, Deddy tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk berdoa sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT. Salah satu doa yang paling diingatnya sampai sekarang, dia ingin kehidupannya berakhir dalam keadaan husnulkhatimah. "Karena, sesaleh apa pun seseorang hari ini, tidak ada jaminan dia nanti akan meninggal dalam husnulkhatimah. Kita tidak pernah tahu, karena itu menjadi rahasia Allah."
Kembali dari Tanah Suci, Deddy mendapat kabar bahwa disertasinya dinyatakan lulus ujian dengan sedikit koreksi. Deddy muda tidak perlu memperpanjang masa studinya di Australia. Sejak itu, Deddy resmi menyandang gelar doktor (Ph.D) di bidang ilmu komunikasi. "Alhamdulillah, apa yang saya pertaruhkan ternyata tidak sia-sia," ucapnya.
ed: a syalaby ichsan