"Ibadah haji semestinya dilakukan dengan rendah hati". Pesan moral ini, seketika disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan saat ditemui Republika di Jakarta, pekan lalu.
Imbauan tersebut tidak hanya kalimat kosong. Ada cerita di balik nasihat Amirsyah. Kisah itu terjadi kala Amirsyah melaksanakan ibadah haji tahun 2010 lalu.
Saat rombongan Amirsyah tiba di Makkah, ketua rombongan mengimbau para jamaah tidak berpisah-pisah. Mereka diminta selalu bersama saat bepergian ke Masjidil Haram atau tempat yang lain.
Foto:Republika/Agung Supri
Amirsyah Tambunan
Merasa sudah pernah umrah, Amirsyah pun berkata di dalam hati bahwa dia telah hafal area pemondokan hingga Masjidil Haram. "Di dalam hati, saya berkata, saya tidak akan tersesat," kata Amirsyah bercerita kepada Republika di kantor MUI, Jakarta, Kamis (4/9).
Dia pun sengaja beranjak pulang dari Masjid Al-haram paling akhir. Benar saja, dalam perjalanan pulang ke pemondokan, dia tersesat cukup lama. Sebelum akhirnya dia bisa menemukan kembali pemondokan.
Usai kejadian itu, dia memahami bahwa manusia tidak boleh takabur dan sombong. "Kalimat di hati saya itu merupakan bentuk kesombongan yang mendahului takdir Tuhan," ujar pria kelahiran 1963 ini.
Dia menjelaskan, sombong merupakan salah satu penyebab ditolaknya ibadah haji. Di samping sombong, dengki, riya, hasud merupakan penyakit hati yang harus dihindari selama melaksanakan ibadah haji.
Dia mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW, "Barang siapa berhaji karena Allah tidak rafats dan tidak fusuq maka dia kembali suci dari dosa seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya" (HR Bukhari-Muslim).
Dan, bagi orang yang demikian mendapatkan hadiah dari Allah berupa surga yang dijanjikan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah hadis nabi, "Al-hajjul mabruuru laisa lahul jazaau illal jannah" (Haji yang mabrur tiada balasannya selain surga).
Pada prisipnya, dosen Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang baik, yang diterima oleh Allah, dan dapat mengembalikan hambanya kepada kesucian.
Dampak dari haji mabrur, dia mengungkapkan, dapat dilihat saat menunaikan ibadah haji selama di Tanah Suci dan setelah kembali dari Tanah Suci.
Doktor Pendidikan Agama Islam itu menyatakan, haji mabrur melahirkan kebaikan kepada Allah dan sesama manusia. Kebaikan kepada Allah, kata dia, bisa berupa peningkatan ibadah dan berkurangnya penyakit hati di hadapan Allah SWT. Sedangkan di hadapan sesama manusia, haji mabrur dapat melahirkan kesantunan, kepedulian, dan keramahtamahan.
"Ada pertambahan nilai positif secara lahiriah dan batiniah yang sangat bermanfaat bagi umat manusia," ujar aktivis Muhammadiyah tersebut. Seorang yang berhaji mabrur, akan lebih patuh kepada perintah Allah serta berakhlak yang lebih baik dibanding sebelum berhaji.
Makna Folosofis Ibadah Haji
Sejatinya, menurut Amirsyah, aktivitas ibadah selama haji memiliki arti yang dalam. "Semua aktivitas ibadah haji itu memiliki makna filosofis yang mendalam," ujar pria yang juga mengajar di Unversitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Tawaf atau mengelilingi Ka’bah, katanya, memiliki makna bahwa kehidupan sejatinya merupakan perputaran atau siklus. Tawaf yang dilakukan secara beruang menunjukkan makna bahwa manusia melakukan perjalanan hidup untuk terus berjuang di jalan Allah.
Sai atau lari-lari kecil dari bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, memiliki makna filosofis yang tidak dangkal. Kata sai sendiri berarti sebagai usaha atau berjuang. Amaliah sai dalam prosesi haji tidak bisa dilepaskan dari kisah Siti Hajar beserta putranya, Ismail, yang berjuang mencari air untuk kehidupan.
"Sai bermakna larangan berputus dalam menjalani hidup yang terkadang berada di atas atau di bawah," ujar Amirsyah. Dia mengatakan, betapa pun kita kesulitan, namun jika kita hadapi dengan ikhtiar yang tekun dan tawakal, akan membuahkan hasil yang baik.
Menurutnya, ada tiga fislosofi mendalam dalam peribadatan haji. Pertama, larangan Allah terhadap manusia untuk menyerah. Kedua, setiap ikhtiar harus selalu diiringi doa. "Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah tawakal. Tanpa kepasrahan kepada Allah kita tidak akan mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Ayah empat anak ini juga mengimbau kepada jamaah haji untuk mempersiapkan fisik dan mental selama berada di Tanah Haram. Sebab, peribadatan haji berbeda dengan ibadah lain. Jenis peribadatan di dalam haji lebih banyak bersifat fisik.
Aktivitas peribadatan yang diwajibkan di dalam haji lebih banyak menguras tenaga. Sebab mayoritas harus dilakukan dalam keadaan berjalan, berlari, bermalam, dan seterusnya. "Fisik dan mental harus benar-benar dijaga," kata Amirsyah.
rep:c60 ed: a syalaby ichsan