Jumat 12 Sep 2014 14:00 WIB

Arief Rahman, Belajar di Tanah Suci

Red:

Sebagai pendidik yang sudah lama malang melintang, Arief Rahman melihat ibadah haji tak jauh dari dunia pendidikan. Menurutnya, haji merupakan proses pembelajaran yang luar biasa dalam hidupnya. Duta UNESCO untuk Indonesia itu merasakan banyak pengalaman berharga selama menjalankan rukun Islam kelima.

"Dari situlah, saya memahami mengapa Allah menjadikan ibadah ini kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki kemampuan fisik dan finansial," kata Arief saat ditemui Republika di ruang kerjanya di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu (10/9).

Di Tanah Suci, Arief belajar tentang spiritualitas. Dia pun mengaku benar-benar merasakan kekuatan cinta, kasih, dan sayang Allah SWT. Arief pun semakin mengerti betapa pentingya keikhlasan seseorang dalam melaksanakan perintah-Nya. Dia menyadarinya ketika melaksanakan setiap kegiatan dalam ibadah haji, seperti thawaf ifadah, sai, wukuf, melempar jumrah, hingga mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah.

"Saya yakin, jika semua kegiatan tersebut dijalani dengan penuh keikhlasan maka itu akan membantu membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih baik sepulangnya ia dari berhaji," ujarnya. Ibadah haji juga mengajarkan manusia mengenai keterbatasan dan keteraturan dalam menjalani hidup.

Dia mencontohkan, untuk ke Mina saja, jamaah memiliki batas waktu, yakni tidak boleh melewati Ashar. Begitu juga dengan wukuf, harus dikerjakan pada jamnya dan tidak boleh mendahului ataupun melewati waktu yang telah ditentukan. "Di situ, jamaah dituntut untuk menjaga ketaatan dalam koridor keterbatasan dan keteraturan," kata mantan kepala sekolah SMA Labschool Jakarta itu.

Arief pertama kali naik haji pada 1978, tepatnya pada usia 36 tahun. Namun, rasa rindu yang membuncah kepada Makkah membuat pria kelahiran Malang, Jawa Timur, ini berulang kali mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji.

Pada setiap kesempatan, dia menemukan ada saja tantangan yang harus dihadapi jamaah haji. Dari sulitnya proses pengurusan dokumen imigrasi, sakit setiba di Makkah, serta berbagai ujian dalam bentuk lainnya. Semua kesulitan itu, dia mengungkapkan, menjadi bagian dari pembelajaran spiritualitas yang diberikan Allah.

Menurutnya, Allah melatih kesabaran umat -Nya saat melaksanakan haji. "Dia mengajarkan agar tidak pernah berputus asa. Orang-orang yang hatinya penuh amarah selama berhaji, tidak mungkin mencapai tujuan dari proses pembelajaran ini," ujarnya.

Arief percaya, ibadah haji menjadi sebuah sarana latihan bagi umat Islam untuk kembali ke ajal. Dia mengaku merasakan kecintaan dan kerinduan yang luar biasa terhadap "getaran-getaran" yang muncul di tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah. Kerinduan yang menurutnya juga dialami oleh orang-orang bertakwa saat mendekati maut.

Kedua, kata Arief, ada pembelajaran emosional dalam haji. Ibadah itu melatihnya untuk selalu mengendalikan diri dan perasaan. Selama berhaji, ada larangan kepada jamaah untuk tidak berbantah-bantahan dan membunuh hewan dalam keadaan berihram. Untuk hewan pengganggu seperti lalat sekalipun, dia mengungkapkan, tetap tidak boleh dibunuh.

Arief pun merasakan ada semacam ikatan emosional dengan Ka’bah. "Ketika berada di depan Ka’bah, seolah-olah ada panggilan kepada saya untuk datang kembali ke tempat itu. Ini salah satu yang mendorong saya untuk naik haji berkali-kali," ujarnya.

Ketiga, pembelajaran intelektual. Menurutnya, setiap jamaah dituntut untuk memperhitungkan semua kemampuan (istita’ah) yang mereka miliki. Baik itu kemampuan jasmani maupun finansial. Selain itu, jamaah juga dituntut memikirkan bagaimana caranya menjaga kesehatan fisik selama berada di Tanah Suci.

"Semua hal tersebut tentunya harus diperhitungkan dengan baik menggunakan akal kita. Karena itulah, saya katakan haji juga menjadi sarana pembelajaran intelektual bagi kaum Muslimin," katanya.

Selanjutnya, haji juga menjadi laboratorium bagi umat Islam untuk mengembangkan potensi sosial. Selama berada di Tanah Suci, kata Arief, dia dituntut untuk bergaul dengan orang-orang dari beragam latar belakang suku dan bangsa.

Dia berjumpa dengan jamaah dari Amerika, Polandia, Hungaria, Rusia, Bosnia, Palestina, dan masih banyak negara lagi. Belum lagi jamaah dari daerah-daerah di Indonesia, seperti Madura, Papua, Kalimatan, Makassar, dan Sumatra. "Di situ betul-betul kelihatan apa yang difirmankan Tuhan dalam surah al-Hujuraat ayat 13 bahwa Dia menjadikan manusia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita saling mengenal."

Karena itu, Arief menambahkan, dia tidak bisa berdiam diri bersama orang-orang Indonesia saja. Dia juga merasa sangat membutuhkan untuk menjalin silaturahim dengan jamaah dari negara-negara lain. "Begitulah Allah menunjukkan kebesarannya," ujarnya. ed: a syalaby ichsan

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement