Keinginan menunaikan ibadah haji sudah terpupuk di benak Ali Masykur Musa ketika masih remaja. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI itu punya keinginan besar untuk menunaikan rukun Islam ke lima. Akhirnya, keinginan Ali Masykur bisa terlaksana pada 1999 ketika berusia 37 tahun.
Dorongan yang kuat untuk melaksanakan ibadah haji itu akhirnya menemui momentumnya. Terpilih menjadi anggota DPR pada 1999, pria yang akrab disapa Cak Ali itu bertekad untuk berangkat ke Tanah Suci dengan menggunakan seluruh gaji pertamanya sebagai anggota dewan. Tak ada yang disisihkan untuk yang lain atau bahkan ditabung. Semuanya untuk membayar ongkos haji.
Anak keempat dari lima bersaudara pasangan KH Musa Asy’ari dan Hj Muthmainnah ini sempat menemui kendala. Gaji pertama Cak Ali tak cukup untuk membayar ongkos haji dia dan istri, Farida Gurmiyati, meski hanya menggunakan haji reguler.
Foto:Yogi Ardhi/Republika
Pertolongan pun datang. Seseorang bersedia membantunya untuk melunasi biaya keberangkatannya terlebih dahulu. Adalah pemimpin Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta KH Noer Muhammad Iskandar, putra salah satu kiai besar Jawa Timur asal Banyuwangi, KH Iskandar. Berangkat melalui biro travel pimpinannya, Kiai Noer bersedia untuk menutupi terlebih dahulu kekurangan biaya dari Cak Ali.
"Waktu itu dilunasin dulu oleh beliau. Alhamdulillah, waktu mau berangkat, dengan gaji bulan berikutnya, kami bisa melunasi," kata Cak Ali mengenang saat ditemui Republika, Ahad (28/9).
Pengalaman haji untuk yang pertama kalinya begitu berkesan. Mimpi untuk berangkat ke Baitullah dengan jerih payah sendiri akhirnya terbayar. Melihat secara langsung kiblat umat Islam di seluruh dunia yang sebelumnya hanya hatinya yang ia titipkan di sana. Hatinya bergetar. Seakan-akan berhadapan langsung dengan Sang Khalik, Allah yang Mahasegalanya.
Bersama istrinya, Cak Ali tersungkur ketika melihat Ka’bah untuk pertama kalinya. Air mata terus membasahi wajahnya. Keluar dan terus mengalir. Baginya, peristiwa itu adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan spiritualnya sebagai Muslim.
Maktab atau pemondokan yang ditempatinya bersama Farida tak bisa dibilang dekat dari Masjidil Haram. Ia setiap hari harus berjalan kaki sejauh 2,5 kilometer bolak-balik dari Masjidil Haram ke maktab. Meskipun jauh, hal itu tak mengurangi semangatnya bersama sang istri untuk menjalankan ibadah. "Meskipun fisik kelelahan, itu semua kalah oleh kepuasan batin kami untuk menunaikan ibadah," ujarnya.
Pria kelahiran Tulungagung, 12 September 1962, ini juga memaknai haji sebagai peristiwa sosial. Solidaritas sesama Muslim sangat ia rasakan ketika berada di Tanah Suci. Baginya, ibadah haji adalah menyangkut kurban itu sendiri. Peristiwa Nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail, yang kemudian diganti dengan hewan kurban. Di situlah, kata dia, makna bahwa hidup tidak untuk diri sendiri, tetapi juga rela berkorban untuk orang lain dalam hal apa pun.
Di Tanah Suci, Cak Ali mengaku sangat merasakan persaudaraan sesama Muslim. Persaudaraan sesama manusia, tolong-menolong, dan mempererat silaturahim menjadi sangat penting untuk hidup bersama-sama sebagai makhluk sosial. Itu sangat ia rasakan di Tanah Suci sebab tak ada yang bisa mencukupi dirinya sendiri dan perlu bantuan orang lain. ed: a syalaby ichsan