Senin 06 Oct 2014 13:00 WIB

Badan Haji akan Kelola DAU

Red:

JAKARTA -- Dana abadi umat (DAU) milik jamaah haji senilai Rp 3,5 triliun akan dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Badan yang lahir dari Undang-Undang (UU) Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) itu pun diminta transparan dalam mengelola dana umat tersebut.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Sekjen) Nur Syam menjelaskan, pengelolaan DAU dan pembentukan badan pengelolanya belum kunjung rampung sejak awal pembahasan pada pertengahan 2012 lalu. Oleh karena itu, DAU diputuskan akan dikelola oleh BPKH.

Seiring dengan munculnya UU PKH, lanjut dia, DAU direncanakan menjadi salah satu sumber yang bisa dikelola oleh BPKH. "BPKH sudah ada nanti dana itu akan dikelola BPKH," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Sekjen) Nur Syam kepada Republika, Ahad (5/10).  Dia menjelaskan, DAU adalah gabungan nilai manfaat dan nilai tambah dari dana setoran calon jamaah haji (calhaj) yang sudah melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sejak jauh-jauh hari. Total kelebihan BPIH tersebu ditampung dalam DAU.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Edwin Dwi Putranto

Anggota Komite Aksi Mahasiswa Pemuda untuk Reformasi & Demokrasi (Kamerad) berunjuk rasa di depan gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/7) terkait penyalahgunaan Dana Abadi Umat dan Setoran Awal Calon Haji.

Sejak awal, DAU direncanakan kembali untuk kepentingan umat, terutama calhaj. Selain itu, dana triliunan rupiah ini digagas untuk kebutuhan umat lainnya seperti biaya membangun masjid, biaya pendidikan, serta pengentasan kemiskinan. Hanya, ujarnya, dana tersebut belum bisa cair karena belum ada peraturan pemerintah (PP) yang secara khusus mengatur soal itu.

Personel badan pengelola DAU terdiri dari pejabat Kemenag di tingkat pusat dan beberapa kalangan profesional. Mereka mendapat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU). Hanya, belum ada SK yang memayungi mereka. Sampai saat ini, sebagian dana yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah disimpan dalam bank pemerintah dan bank syariah yang ditunjuk menteri agama. Sebagian lagi, ungkapnya, diinvestasikan ke dalam instrumen sukuk.

Setiap penyelenggaraan haji, mantan rektor IAIN Sunan Ampel ini menyebut, pemerintah mengambil dana sebesar Rp 18 miliar untuk biaya penyelenggaraan haji. Sisanya, dana tersebut tersimpan rapi di bank karena tidak ada alasan lain bagi pemerintah untuk mencairkan dana tersebut. Termasuk, tak ada pula alasan pula bagi pemerintah untuk mencairkan dana setoran awal haji yang nilainya mencapai Rp 67 triliun. "Uang yang tersimpan itu masih utuh dan tentu terus bertambah nilai manfaatnya," ujarnya.

Ketua Umum Majelis Pengurus Pusat Rabithah Haji Indonesia Ade Marfudin menjelaskan, pemerintah harus menyiapkan dewan pengawas sekaligus dewan syariah untuk mengawasi pengelolaan DAU. Dua pengawas itu diharapkan mampu menjamin sistem pengelolaan dana haji transparan dan sejalan dengan syariat Islam. "Kalau tidak dikontrol dengan baik, tidak dikawal transparansinya, maka akan kebablasan. Bisa saja dana haji ini nasibnya sama seperti sekarang ini, bahkan lebih parah," kata  Ade.

Adanya transparansi publik bertujuan mencegah penyelewengan uang haji oleh oknum pemerintah. Selain itu, ujar Ade, transparansi dapat menjelaskan jamaah soal besaran nilai uang yang mesti dilunasi jelang keberangkatan. Jika pun nilai manfaat sudah bisa untuk melunasi BPIH, tuturnya, maka calhaj tidak perlu melunasi. Saat uang setoran itu menjadi surplus, jamaah menjadi tahu berapa besaran pengembalian yang akan mereka terima sepulang berhaji.

Dia menambahkan, pemerintah harus menjamin uang yang dikelola berdasarkan prinsip syariah. Menurutnya, urusan haji beserta pengelolaan keuangannya berkaitan dengan masalah ukhrawi. Selain berkaitan dengan keuntungan dari investasi haji, masyarakat Islam secara umum masih memperhatikan jaminan syariah yang diyakini menuai berkah.

 

BPKH juga harus menjamin kepastian tidak ada lagi kejadian sisa kuota tersisa. "Kita tiap tahun memperdebatkan kuota yang sisa karena pembatalan mendadak, kuota yang diperpanjang," ujarnya. Oleh karena itu, dia mengimbau BPKH menyiapkan daftar tunggu jamaah hingga tiga sampai lima tahun berikutnya. Badan tersebut pun harus menyiapkan jamaah pengganti untuk menutupi kuota jika ada pembatalan mendadak jelang penutupan pendaftaran haji.

rep:c78 ed: a syalaby ichsan

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement