Senin 06 Oct 2014 12:25 WIB
Pengalaman Haji

Asep Saeful Muhtadi, Memenuhi Undangan Allah

Red: operator

Saat umrah, ia berulang-ulang meminta agar Allah dapat mengundangnya kembali ke Tanah Suci.

Keberangkatan seorang hamba ke Tanah Suci tak lepas dari campur tangan Allah SWT sebagai tuan rumah. Sekeras apa pun manusia berusaha mencapainya, tidak akan terjadi jika “undangan” itu belum diterima. Begitulah Asep Saeful Muhtadi alias Kang Samuh meyakini takdir di balik hadirnya manusia di Tanah Suci.

Kepada Republika, Dewan Pembina Pusat Studi Pesantren dan Madrasah (PSPM) ini berkisah. Pertama kali ia menginjakkan kaki di Tanah Suci pada 1995. Saat itu, dia tengah dalam perjalanan pulang dari studi S-2 di Amerika. Dia berangkat dengan seorang teman yang saat ini menjadi guru besar ekonomi pertanian Universitas Lampung. Namanya, Bustanul Afirin.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dokpri

“Saya berangkat menggunakan sisa-sisa beasiswa dengan mengorbankan tiket Amerika-Jakarta yang telah disediakan sponsor,” kata pria kelahiran Bandung, 19 Juni 1961 itu. Tiket tersebut tak ia gunakan. Dia menggantinya dengan membeli tiket Amerika-Jeddah-Jakarta.

Itulah pengalamannya pertama kali menjejakkan kaki di Tanah Suci. Pengalaman yang menurutnya paling berkesan sebab kehadirannya di sana dengan maksud melaksanakan umrah, tapi tanpa pembimbing, tanpa guide, dengan pengetahuan umrah yang sangat minim. Oleh karena itu, saat umrah, ia berulang-ulang meminta agar Allah dapat mengundangnya kembali ke Tanah Suci. Dia memohon ingin beribadah secara lebih baik.

Selang tiga tahun, “undangan” itu kembali datang padanya. Ia berangkat dengan biaya dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pada awalnya, ia terdaftar sebagai salah satu dari 40 orang yang mendapat fasilitas pemprov sebagai TPHD. Setelah beberapa hari surat keputusan itu ditandatangani gubernur, ada kendala yang mengharuskannya urung berangkat. Ia pun ikhlas menerimanya.

Hanya, tiga hari kemudian, ia kembali dipanggil dan diberi tahu bahwa ia akan tetap berangkat. Bukan dengan status TPHD, melainkan dengan status jamaah haji biasa. Pejabat setempat membiayai keberangkatannya dengan jalur haji khusus. “Saya jadi berangkat tanpa beban tugas apa pun, kecuali murni sebagai jamaah haji,” katanya.

Sejak itulah dosen sekaligus guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati itu bersyukur dapat kesempatan berangkat ibadah haji berkali-kali. Semuanya ia jalani dalam status sebagai pemandu jamaah haji rombongan Prof Miftah Faridl.

Rangkaian kejadian itu membuatnya menarik suatu kesimpulan. Di tengah upaya manusia untuk berangkat haji, ada “undangan” dari Allah yang menentukan kita jadi berangkat atau tidak. Menurutnya, jika Allah sudah “mengundang” seseorang untuk berangkat haji, apa pun alasannya, apa pun keadaannya, manusia tetap berangkat.

Berapa banyak orang yang masuk dalam daftar antrean dengan segala fasilitasnya yang telah lengkap, tapi belum juga berangkat. Sebaliknya, berapa banyak orang yang menurut kalkulasi matematis belum “mampu” berangkat, dengan cara apa pun ia tetap berangkat.

Ibadah haji baginya merupakan bentuk penghambaan paling tinggi kepada Allah. Secara lahiriah, haji sering disebut-sebut sebagai ibadah yang mensyaratkan kemampuan harta atau ibadah maliyah dan sekaligus mensyaratkan kekuatan fisik.

Tidak salah karena faktanya ibadah haji membutuhkan paling tidak dua faktor tersebut. Hanya, ungkapnya, ibadah haji memiliki dimensi kepatuhan dan ketulusan yang sangat besar. Tanpa itu semua, perjalanan haji akan sia-sia.

rep:c78 ed: a syalaby ichsan

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement