Oleh: Anggito Abimanyu -- Sesudah jamaah melakukan wuquf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijah, perjalanan selanjutnya, yakni mabit di Muzdalifah dan menuju ke Mina atau melakukan tawaf ifadah terlebih dahulu. Dari Mina para jamaah diwajibkan melontar jumrah.
Perjalanan menuju jamarat untuk melontar jumrah merupakan aktivitas yang paling berat dari seluruh prosesi puncak haji. Banyak jamaah yang menderita kelelahan, tersesat, bahkan pingsan dalam perjalanan karena jarak Jamarat dari perkemahan antara lima hingga sembilan kilometer satu kali jalan.
Kondisi perkemahan Mina juga sangat terbatas menambah beban fisik para jamaah. Apalagi keterbatasan toilet juga sangat mengganggu, khususnya bagi jamaah lanjut usia. Banyak jamaah yang tertatih-tatih untuk berjalan dari perkemahan Mina ke Jamarat dan kembali lagi ke Mina.
Petugas haji Indonesia sudah terus siap siaga 24 jam memantau dan membantu pergerakan jamaah haji. Sayangnya, petugas haji kita dilarang untuk berhenti membantu jamaah haji yang menderita kelelahan karena akan memenuhi badan jalan.
Jamarat atau tempat melontar jumrah di Mina menjadi satu medan berat perjuangan jamaah. Diperlukan persiapan fisik yang fit dan stamina prima, selain kekuatan batin yang konsisten dan istikamah untuk memantapkan komitmen melawan godaan setan yang terkutuk.
Kebanyakan jamaah haji memilih melontar jumrah pada waktu yang dianggap afdal, yakni selepas Zhuhur atau matahari tergelincir ke arah barat.
Waktu berkesempatan menjadi petugas haji 2012 dan 2013, saya sering terkesima melihat semangat beribadah para tamu Allah. Mereka tak memedulikan panas terik matahari dan angin malam yang berembus kencang. Bismillahi Allahu akbar, batu-batu bertebaran menghantam tugu jamarat al-ula, wustha, dan ‘aqabah.
Perisitiwa itu mengingatkan pada kisah ketauhidan nabi Ibrahim As yang berkurban nabi Ismail As untuk membuktikan totalitas ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Sesekali di puncak siang yang menyengat ba’da zawal saya menyaksikan "tawaf" elang-elang gurun di langit Mina. Makhluk-makhluk anggun itu seperti takjub mendengar talbiyah, takbir, dan kalimat toyibah lainnya menggema di seantero Kota Seribu Tenda.
Elang-elang berputar mengitari bangunan megah yang sanggup menampung ratusan ribu jamaah itu, seperti turut melantunkan zikir mengiringi ritual multibangsa dari berbagai belahan dunia. Deru debu jamarat mengharu biru bagai butir pasir surga yang berhamburan diterjang kereta kencana menyambung duyufurrahman nan mabrur.
Waktu itu saya betul-betul mensyukuri karena petugas yang ikhlas dan sigap membantu jAmaah secara darurat, bahkan meNgangkut jAmaah tersesat dan sakit dengan sepeda motor tua. Mengendarai sepeda motor di wilayah Mina Jamarat juga tidak diperbolehkan alias ilegal, tetapi ada saja alasan dan cara untuk mengoperasikannya.
Tenda misi haji yang berlokasi persis di balik terowongan sering kali menjadi persinggahan sementara bagi jamaah kelelahan. Jamaah diberikan setengguk zamzam, makanan, atau sekAdar meluruskan kakinya dan menyeka mukanya dengan tisu basah sebelum melanjutkan ke tenda masing-masing. Alhamdulillah, petugas kita menjalankannya dengan penuh keikhlasan.
Belasan motor Honda Super Cup C70 tahun ‘80-an itu sangat membantu untuk hilir mudik jamaah mengantar ke tenda masing-masing, terutama yang berlokasi di maktab yang jauh. Selain praktis dan ekonomis, sepeda motor itu mampu bergerak menembus keramaian dan kepadatan jutaan manusia di areal Mina. Sarana angkutan lainnya, yakni minibus coaster yang mampu menampung 20-an jamaah atau tiba-tiba berubah menjadi mobil ambulans yang mengangkut jamaah sakit.
BPHI (Balai Pengobatan Haji Indonesia) di Mina juga dilarang didirikan karena Arab Saudi menyediakan RS Haji lengkap, namun Indonesia nekat membukanya. Alasannya, yakni kepraktisan dan pelayanan sementara untuk jamaah Indonesia yang sakit, dehidrasi, kelelahan, dan demam biasa. Untuk sakit serius, memang harus dirujuk ke RS Mina.
Dua tahun berturut-turut Misi Haji Indonesia memperoleh wilayah BPHI yang cukup luas dan memadai di Mina meskipun ditegur oleh Pemerintah Arab Saudi. Maktab Haji Indonesia reguler di Mina berjumlah 48 unit, berarti tiap-tiap maktab melayani 3.000-an jamaah. Jumlah ini sebenarnya tidak ideal untuk keperluan pelayanan jika ada perbaikan kerusakan tenda, fasilitas makanan, dan distribusi makanan.
Mina adalah tempat bermalam jamaah pada hari tasyrik dan mereka wajib melontar jumrah tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah. Bagi mereka yang melaksanakan nafar tsani ditambah satu malam pada 13 Dzulhijjah.
Daerah yang berada sembilan kilometer dari Kota Makkah itu dibatasi sepanjang 3,5 kilometer oleh dua bukti yang berhadap-hadapan. Mina termasuk tempat ibadah sebagaimana Arafah. Tidak sah mabit (berdiam) di luar Mina sebagaimana tidak sah wukuf di luar Arafah.
Setiap jamaah akan memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk berdoa yang bermanfaat. Seperti, memperbanyak zikir dan doa, mendengar ceramah agama, maupun membaca Alquran.
Deru dan debu sepanjang Jamarat di Mina tidak menghalangi jamaah haji untuk menjalankan ibadahnya dan petugas haji untuk melayani tanpa kenal lelah. Tak lupa mereka melafalkan doa untuk diri sendiri dan keluarganya.
Berbagai makna tersimpan dari pelaksanaan melontar jumrah. Pertama, dengan kerikil-kerikil kecil itu sesungguhnya berperang melawan setan. Kedua, dalam prosesi melempar jumrah sesungguhnya juga menyimpan arti kemenangan manusia dalam menundukkan hawa nafsu. Sekaligus mengakhiri penghambaan kepada selain Allah. Labaik Allahumma Labaik. ed: dewi mardiani