Prof dr H Tjandra Yoga Aditama SpP (K), MARS, DTM&H, DTCE, pertama bertugas sebagai petugas kesehatan haji Indonesia pada tahun 1990. Ketika itu terjadi peristiwa Mina yang menyebabkan ratusan jamaah haji Indonesia wafat dalam terowongan yang menghubungkan perkemahan di Mina dengan tempat melempar jumrah.
"Waktu itu saya bertugas menjadi Kepala Poliklinik Medik Darurat (PMD) Mekkah, yang sekarang namanya Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Mekkah," kata Tjandra kepada Republika, Ahad (30/8).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan itu menambahkan, PMD fungsinya sama seperti rumah sakit, gedung bertingkat empat. "Tapi, karena pemerintah asing tidak diizinkan mendirikan RS untuk jamaah hajinya masing-masing, maka pelayanan RS itu dulu diberi nama Poliklinik Medik Darurat (PMD) sehingga izinnya memang "darurat" sifatnya, bukan permanen," tutur Kepala Poliklinik Medik Darurat (PMD) di Mekkah tahun 1990 itu.
Tjandra menyebutkan, pada tahun 1990 itu PMD sudah merawat inap ratusan jamaah haji Indonesia. "PMD juga menyediakan dokter spesialis, hanya waktu itu peralatan masih terbatas dan sederhana," ujarnya.
Ketika berubah namanya menjadi BPHI beberapa tahun belakangan ini dan juga lokasinya berpindah karena kontrak bangunannya habis, maka BPHI kini ada laboratorium, rontgen, dan bahkan ICU. "Tapi bagaimanapun kalau kasus amat berat maka memang kita rujuk juga ke RS Arab Saudi," kata Tjandra yang bertugas sebagai petugas kesehatan haji tahun 1990-2013.
Sesudah 1990, Tjandra kembali bertugas di Makkah pada tahun 2013. Ia kini menjadi ketua Tim Pengawasan dan Pengendalian (WasDal) Kesehatan Haji.
Salah satu pengalaman unik, ketika menjadi Kepala PMD Makkah pada tahun 1990, ia merujuk seorang pasien ke RS Arab Saudi. Sesudah beberapa hari, pasien dibawa kembali ke PMD dengan diantar beberapa orang petugas Arab Saudi. "Mereka mencari saya untuk bicara langsung dan bertanya tentang penyakit pasien itu, yang tentu lalu saya jelaskan," kata Tjandra.
Kemudian, para petugas Arab Saudi mempersoalkan bahwa pasien itu ada dugaan "disiksa". Tjandra pun jadi kaget dan bicara ke pasiennya. Akhirnya, ketahuanlah bahwa petugas Arab Saudi itu "salah duga". Mereka menyangka ada "penyiksaan" karena melihat bekas kerokan di punggung pasien itu. "Ada-ada saja, bikin pusing kepala PMD saja," tutur Tjandra seraya tersenyum.
Pengalaman lain ketika Tjandra bertugas kembali pada tahun 2013. Di klinik Indonesia di Padang Arafah, ada pasien gawat yang harus segera dirujuk. Karena jalanan macet sekali, maka seluruh ambulans tersendat di jalan. Akhirnya, Tjandra memutuskan untuk mengirim pasien itu dengan memakai mobil biasa yang ada. Mobil tersebut dimodifikasi sedikit sehingga pasien dapat berbaring, infus, dan oksigen terpasang, dan lain-lain.
"Saya pikir ini pemecahan yang baik. Ternyata, mobil membawa pasien itu tidak bisa masuk ke Rumah Sakit Arab Saudi yang ada di Padang Arafah karena SOP-nya hanya ambulans yang boleh masuk halaman RS," tuturnya.
Akhirnya , pasien terpaksa dibawa keluar Padang Arafah dan dibawa ke BPHI di Makkah, dan mobil itu sulit kembali ke klinik di Padang Arafah karena jalanan macet total. "Kembali ini suatu bentuk pengalaman berharga," ujarnya. ed: Irwan Kelana