Penampilan enam anak usia TK dan SD mem buka pagelaran Tari Topeng di Area Panggung Terbuka Taman Budaya Jawa Barat (Jabar), malam itu. Meski baru dilatih selama lima bulan, tapi gerakan tari mereka terlihat cukup mahir, khusunya saat menarikan topeng ‘Pamindo’.
Pada pagelaran malam itu, total ada 11 penari ditambah satu penari maestro. Malam itu, mereka tampil membawakan enam macam tari topeng secara berurutan. Enam macam tarian itu adalah, topeng ‘Pamindo Samba Putih’, topeng ‘Pamindo Samba Abang’, topeng ‘Tumenggung’, topeng ‘Klana’, topeng ‘Klana Udeng’, dan topeng ‘Rumyang’.
Mereka yang saat itu tampil adalah para agen pewarisan seni budaya tari topeng ‘Menor’. Pa salnya, seni topeng Menor dinilai hampir mendekati kepunahan. Mi nimnya generasi pene rus dianggap sebagai penyebabnya.
Melihat ini, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jabar memrioritaskan ke senian yang besar di subang ini, untuk segera diwariskan kepada generasi muda. Sayangnya, malam itu, penonton tidak terlalu banyak. Cuaca yang kurang bersahabat pada penampilan di panggung terbuka itu, cukup membuat kursi penonton tidak terisi penuh.
Kesenian topeng ‘Menor’ sendiri sebenarnya berasal dari Cirebon. Hingga sebelum program pewarisan dilakukan, hanya tersisa satu orang yang menguasai tarian ini. Dalang topeng ini sering dikenal dengan ‘Menor’ atau nama aslinya Carini, sang maestro. Menor adalah panggilan sayang keluarga kepadanya. Ke luarganya lah yang mengem bangkan tarian ini di Subang, setelah mereka mengamankan diri ke kota itu dari pendudukan Jepang di Cirebon.
"Banyak kesenian yang harus segera diwariskan di Jabar ini.Tapi,prioritas topeng Menor karena membutuhkan secepatnya harus diwariskan ke generasi muda. Bu Carini tinggal satu-satunya seniman yang menguasai," ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya (BPTB) Disparbud Jawa Barat, Aty Rochati, pada pagelaran hasil evaluasi pewarisan seni tradisional Jawa Barat, "Topeng Menor", pekan lalu, di Teater Terbuka BPTB.
Dalam proses awalnya, Disparbud melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap seni topeng Menor di Desa Babakan, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang. Menurut Aty, saat itu, para nayaga dan alat gamelan sudah tidak lagi diketahui keberadaannya. "Saat itu, mereka dikumpulkan kembali. Nayaga-nya juga udah tua-tua, sudah nggak tahu dimana rumahnya. Kami pun harus mencarinya dengan menggunakan ojeg," ujarnya.
Dikatakan Aty, pewarisan seni yang dimaksud, merupakan transformasi keahlian. Baik secara horizontal maupun vertikal. Kata dia, untuk kali ini, pewarisan itu dilakukan dengan kedua cara tersebut. "Horizontal ke pada masyarakat generasi muda dan vertikal kepada keturunan dari Carini," katanya.
Proses latihan dilakukan secara intensif. Dimulai sejak Fe bruari hingga Juni 2014. Seni ini sebelumnya bahkan dikatakan sempat hilang. Kemudian muncul lagi setelah pada 2007, dilakukan revitalisasi.
Kini topeng Menor telah di wariskan bagi anak cucu, mulai umur TK sampai remaja. Tapi, ada hal-hal tertentu seperti topeng Panji dan Kelana yang tidak disampaikan oleh Carini ke generasi penerus. "Ini karena dari ka keknya dulu juga tidak diturunkan ke ibu (red-Carini)," ujar Aty.
Di samping mempertunjuk kan pada masyarakat seni yang hampir punah, pagelaran malam itu sekaligus merupakan evalua si proses pewarisan yang telah dilakukan. Namun, Aty menyayangkan, sikap masyarakat yang kurang mengapresiasi seni tradisional.
Seni tradisional, menurutnya, perlu dimasukkan ke dalam pelajaran di sekolah. Dia menga takan, salah satu yang menjadi hambatan dalam proses pewarisan itu sendiri adalah sedikitnya waktu berlatih bagi anak-anak. Pasalnya, anak-anak yang dila tih itu harus membagi jadwal dengan kegiatan sekolah.
Namun, dia berharap, apa yang telah diwariskan ini akan terus berlanjut. Tumbuh kembang tari Menor lewat lewat Lingkung Seni Cinta Pusaka itu, harus didukung pemerintah setempat juga masyarakat. "Jangan sampai tidak ditindak lanjuti, kami sudah angkat. Pemda setempat harus meneruskan," ujar Aty.
rep:c69, ed: agus yulianto