Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sebuah perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Hal itu menggambarkan betapa sakralnya tujuan dari sebuah perkawinan.
Namun, ribuan pasangan suami istri (pasutri) di Kabupaten Indramayu, menilai kesakralan dari perkawinan itu sepertinya kurang. Mereka hanya menganggap perkawinan sebagai kebutuhan sesaat dan bukan selamanya. Kondisi tersebut di antaranya terlihat dari tingginya kasus perceraian.
Sepanjang 2013, dari sekitar 9.300 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama (PA) Indramayu, 90 persen di antaranya merupakan perkara tuntutan perceraian. Angka ini paling tinggi di Indonesia dan ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan evaluasi, 70 persen pasutri yang bercerai itu memiliki latar belakang pendidikan sekolah dasar (SD).
Dari situ bisa dilihat bahwa pendidikan bisa mempengaruhi kelestarian dari sebuah perkawinan. Semakin tinggi pendi dikan pasutri, maka akan semakin lestari pernikahan mereka seiring dengan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, mayoritas pasutri yang bercerai juga memiliki latar belakang ekonomi yang rendah. Dari total ajuan per kara cerai, 60 persen di antaranya beralasan bahwa suami tidak bertanggungjawab dalam soal nafkah.
Tak hanya tingginya angka perceraian, pengajuan dispensasi pernikahan diba wah umur juga tinggi. Berdasarkan UU No mor 1 Tahun 1974, perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun kenyataannya, banyak pasangan yang menikah sebelum usinya mencapai 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Bahkan ada beberapa anak yang menikah dibawah umur 13 tahun.
Pada tahun ini, jumlah pernikahan dibawah umur mencapai lebih dari 100 kasus. Sedangkan sepanjang tahun lalu, jumlahnya berkisar antara 250 300 anak. Kondisi ini sangat memrihatinkan. Yang lebih membuat prihatin, hampir 70 persen pernikahan dibawah umur itu dilatarbelakangi alasan hamil sebelum nikah akibat pergaulan bebas. Hal tersebut menunjukkan mereka (remaja yang me lakukan pergaulan bebas) masih jauh dari agama.
Masalah lain seputar perkawinan yang terjadi di Kabupaten Indramayu juga cukup tingginya pernikahan siri. Kenyataan itu terlihat dari pengajuan isbath nikah pasutri yang belum mencatatkan perkawinannya dan belum memiliki buku nikah. Sepanjang 2014, pasutri yang mengajukan isbath nikah ke PA mencapai kurang lebih 200 pasangan. Mereka sebe narnya sudah menikah siri selama beberapa tahun, tapi belum memiliki bu ku nikah. rep:lilis ed: rachmat santosa
Drs H Anis Fuadz SH, Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu