Kamis 19 Jun 2014 14:00 WIB

guru menulis- Pelajaran Bahasa Indonesia pada Era Pilpres

Red:

Perdebatan antara para calon kandididat RI menjadi hal menarik dari serangkaian proses kampanye yang saat ini dilaksanakan. Debat menjadi begitu diminati, bahkan kini seolah hal yang dinanti oleh masyarakat.

Acara debat capres dan cawapres menjadi bagian penting dari agenda KPU dalam rangka memilih calon pemipin yang baik luar dalam dengan tujuan berdasarkan pada indikator sederhana, yakni publik mengetahui setidaknya motivasi mereka. Pada akirnya lebih jauh menilai kemampuan bisa atau tidak menjadi pemimpin nomor satu di negeri ini. Visi misi kandidat akan terilihat jelas melalui ajang itu. Dari fenomena menarik ini, mari kita bertanya apa sebenarnya urgensi debat bagi pendidikan kita?

Kemampuan komunikasi erat kaitannya dengan pelajaran bahasa Indonesia. Setidaknya, mempunyai korelasi kuat dalam rangka menghasilkan peserta didik yang mampu berfpikir secara sistematik, kuat dalam menganalisis satu fenomena dengan kemampuan berbahasa yang baik. Lewat debat sebenarnya publik akan menilai mana pemimpin yang bisa berpikir runut, sistematis, serta bisa diterima masyarakat luas dengan gamblang.

Jika melihat struktur kurikulum bahasa Indonesia di pendidikan kita, bisa dipastikan waktu belajarnya menempati jam yang relatif cukup banyak. Sekurangnya, ada enam hingga delapan jam per minggu dialokasikan bagi proses pembelajaran bahasa ini.

Kemampuan berbahasa menitikberatkan pada kemampuan peserta didik menjadi pendengar yang baik, pembicara yang baik, pembaca yang baik, juga mampu menjadi penulis yang baik. Satu dimensi kemampuan berbahasa yang jarang kita latih kepada anak, yakni kemampuan mempelajari bahasa nonverbal atau bahasa tubuh.

Anak-anak kita sering kaku menyampaikan ide dan gagasannya. Bahkan, cenderung tidak ekspresif saat melontarkan berbagai ide dan gagasannya. Harus diakui, saat ini proses pembelajaran berbahasa kita cenderung teks book. Pada saat yang sama peran media dengan pesan teks dan informasi singkat secara signifikan mengarahkan budaya masyarakat kita pada budaya baca yang bersifat instan.

Anak dihadapkan pada berbagai teks, lalu menjawab makna yang terkandung dalam bacaan tersebut. Anak kita sering lupa atau jarang diajarkan bagaimana mereka seharusnya secara kontekstual dipersiapkan mampu berkomunikasi dengan baik dalam kehidupan nyata.

Tips menjadi pendengar yang baik tidak pernah diajarkan di bangku sekolah. Bahkan, pelajaran menghargai orang lain pun sering diabaikan. Kita bisa saksikan pada proses menyimak dengan menatap lawan bicara saat berkomunikasi, misalnya jarang kita tekankan dengan serius.

Menyimak sangat penting dalam memahami ide dan gagasan yang disampaikan lawan bicara. Kita sering melihat saat diskusi berlangsung, lawan bicara asyik dengan handphone dan tatapan matanya tidak fokus. Setidaknya, lewat pembelajaran berbahasa Indonesia yang benar dan baik kita harus menyiapkan anak-anak yang mampu menjadi pendengar yang baik, respek dengan orang lain saat berbicara sekaligus mampu secara menyakinkan dan sistematis menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. Ujungnya mereka mampu meninggalkan jejak lewat tulisan.

Maraknya kasus-kasus plagiarisme, bahkan lemahnya para pendidik di level pendidikan tinggi menghasilkan karya tulis orisinal yang pada akhirnya menghambat karier akademik mereka yang bisa jadi disebabkan faktor kemampuan berbahasa.

Sejarah mengenang para pembuat sejarah karena mereka meninggalkan jejak baik melalui tulisan maupun karya- karya besarnya.Karya itu dipastikan dimulai dari proses belajar berbahasa yang baik.

Asep Kusnawan,

Guru YP Salman Al Farisi, Bandung

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement