Pemberantasan radikalisme yang setiap tahun selalu berulang menggunakan cara yang hampir sama sehingga seperti 'pemadam kebakaran’.
BEKASI — Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polda Metro Jaya melakukan penangkapan terhadap satu orang yang diduga terkait jaringan teroris di sebuah rumah toko di Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat. Pria yang ditangkap itu berinisial A yang diduga terlibat pendanaan jaringan teroris di Aceh.
"A ditangkap saat sedang berkunjung ke salah satu rekannya di Jatiasih," kata Kepala Kepolisian Sektor Jatiasih Kota Bekasi Kompol Imelda Sitohang, Ahad (10/8).
Ia mengatakan, tersangka teroris berinisial A yang ditangkap di wilayah setempat, Sabtu (9/8) malam, juga terkait aktivitas organisasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "A masih berkaitan dengan merebaknya aktivitas ISIS di Bekasi selatan belakangan ini," kata Imelda.
Dikatakan Imelda, pihaknya hingga kini masih mengamankan lokasi penggerebekan di sekitar lokasi penangkapan karena diduga masih ada tersangka lain yang terlibat. "Untuk barang bukti yang kita dapat di lokasi penangkapan masih kita telusuri di TKP," katanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, ISIS merupakan fenomena lama terkait gerakan radikalisme yang terus berulang dengan nama baru. Maka itu, langkah penyelesaiannya harus menyentuh hal fundamental. "Sikapi ISIS dengan serius, tapi rileks," katanya.
Din mengkritik pemberantasan radikalisme yang setiap tahun selalu berulang. Menurutnya, cara yang digunakan pun hampir sama sehingga seperti 'pemadam kebakaran’.
Sehingga, penyelesaian masalah radikalisme, menurutnya, hanya menjangkau permukaan. Misalnya, penangkapan orang-orang yang disebut ‘sesat’ atau ‘teroris’.
Ketika isu radikalisme menyeruak, lanjut Din, beribu-ribu fatwa telah dikeluarkan. Pun telah banyak dakwah dan seruan tentang Islam yang rahmatan lil alamin sampai mulut berbusa, namun kasus radikalisme terus berulang dengan nama baru. "Jika tak diselesaikan secara fundamental, kita akan terus-menerus berkumpul setiap Syawal, membahas hal yang sama, terus begitu berulang-ulang," ujarnya.
Pengamat Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdi Lubis menyatakan, target rekrutmen Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah orang yang sudah tidak punya harapan untuk hidup karena tekanan struktural yang besar. "Hal ini terjadi jika modus perjuangan ISIS sama dengan pola terorisme selama ini, yakni dengan suicide bomb atau bom bunuh diri," kata Rissalwan.
Orang miskin menjadi target utama rekrutmen karena sudah kehilangan harapan, tetapi hanya orang miskin karena faktor struktural, bukan faktor kultural. Artinya, lanjut Rissalwan, orang-orang yang selama ini dimarginalkan secara sistemik dan struktural serta dihentikan aksesnya untuk menjadi sejahtera. "Orang-orang seperti ini sangat mudah untuk direkrut menjadi tenaga martir baru," papar Rissalwan.
Pendapat senada diungkapkan mantan duta besar RI untuk Keemiran Qatar, Abdul Wahid Maktub. "Saya yakin selama Indonesia berada dalam situasi kemakmuran dan keadilan, ajaran jihad yang bersifat destruktif otomatis tidak akan bisa hidup dan berkembang," tutur Abdul Wahid.
rep:c57/c78/antara ed: muhammad fakhruddin