"Semangat Proklamasi Kemerdekaan mampu menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri."
TIDAK ADA PILIHAN LAIN BAGI INDONESIA UNTUK BERTARUNG AGAR PASAR YANG MENGGIURKAN INI TIDAK MENJADI LADANG MENCARI KEUNTUNGAN PRODUK DARI NEGARA LAIN.
Dalam beberapa bulan ke depan, Indonesia akan tergabung dalam pasar bebas ASEAN. Tepatnya, tahun 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai berlaku setelah disepakati dalam pertemuan KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, awal 2007.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling disorot. Bukan apa-apa, dengan jumlah penduduk di atas 240 juta jiwa, Indonesia dinilai akan menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produk negara ASEAN.
Tentu saja, sah-sah saja anggapan seperti itu. Di negara manapun, jumlah penduduk yang besar selalu menjadi incaran produsen. Cina dan India menjadi salah satu negara yang dilirik para investor untuk menanamkan modalnya.
Bagi Indonesia, jumlah penduduk yang besar selama ini memang menjadi nilai tambah di mata sejumlah investor. Namun, saat pasar bebas ASEAN diberlakukan, apakah jumlah penduduk yang besar ini juga dapat menjadi nilai lebih bagi Indonesia?
Pertanyaan tersebut menjadi sulit dijawab ketika negara-negara ASEAN justru bukan menanamkan investasinya ke Indonesia.
Namun, mereka malah memasarkan produk-produknya sejalan bebasnya pajak bea masuk karena diberlakukan kebijakan pasar tunggal ASEAN.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk bertarung agar pasar yang menggiurkan ini tidak menjadi ladang mencari keuntungan produk dari negara lain. Kekuatan pelaku usaha dalam negeri, baik itu UMKM maupun perusahaan besar, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), keandalan sumber daya manusia (SDM), dan kebijakan pemerintah yang tepat akan menjadi kunci untuk dapat bersaing dengan kepala tegak.
Sayangnya, jika dilihat dari sisi indikator Human Development Index (HDI) 2013 yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP), Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency International, dan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 2013-2014 yang disodorkan World Economic Forum (WEF), kesiapan Indonesia untuk mampu bersaing memang masih diragukan banyak kalangan.
Angka HDI Indonesia terbilang masih rendah, yakni hanya sebesar 0,62 dan tergabung dalam kelompok negara dengan HDI kategori medium human development. Dengan kekayaan sumber daya alam yang lebih besar, HDI Indonesia masih berada jauh di bawah Singapura (0,89) dan Brunei (0,85). Malaysia juga cukup jauh di atas Indonesia dengan HDI sebesar 0,76. Dari sisi HDI Indonesia masih kalah kuat dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Dalam soal pelayanan birokrasi juga masih belum maksimal. CPI 2013 yang dikeluarkan Transparency International, Indonesia masih tergolong negara dengan korupsi yang tinggi. Singapura menjadi negara terkecil korupsinya di ASEAN, disusul Brunei, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Sedangkan dalam indeks daya saing global (Global Competitiveness Index-GCI) 2013-2014 yang dikeluarkan WEF, Indonesia berada di pering kat ke-38 dari 148 negara yang disurvei. Indonesia lebih baik dari Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Filipina. Namun, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand.
Walaupun demikian, tentu saja kita tidak boleh berkecil hati. Masih ada waktu untuk terus memperbaiki diri. Belum lagi, UMKM yang kita miliki terbukti telah mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi pada 1998 dan 2008. BUMN-BUMN di Indonesia juga selama ini sudah mampu bersaing dengan perusahaan multinasional dan kini tinggal diasah agar lebih kompetitif.
Sedangkan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia juga tidak kalah andal dibanding SDM negara-negara lain ASEAN. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan perhatian lebih. Keseriusan pemerintah dan semua kalangan, termasuk masyarakat, menjadi tantangan sekaligus kunci penting sehingga mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan semangat pantang menyerah tak ubahnya bahan bakar utama mengarungi lautan persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. ed:Firkah Fansuri