JAKARTA -- Pendataan rumah dan bangunan akibat gempa 6,5 skala Richter di Aceh terus dilakukan. Hingga Sabtu (17/12) tercatat, kerusakan meliputi masjid 65 unit, 160 menasah, 357 ruko, 30 kantor pemerintahan, 139 sekolah, 11 pasar, 83 jembatan, dan jalan 88,5 kilometer.
Gempa susulan masih berlangsung hingga 120 kali sejak Rabu (7/12). Namun, tren gempa susulan itu terus mengecil. Berdasarkan catatan sejarah, gempa yang berdampak di tiga kabupaten, yakni Pidie Jaya, Pidie, dan Bireun pernah terjadi pada 1940-an, sehingga kemungkinan siklusnya adalah 70-an tahun.
Kemungkinan terjadi gempa besar lagi tidak mungkin. Masyarakat jangan khawatir karena periode ulangan gempa mungkin akan berlangsung sangat lama, tetapi gempa-gempa kecil mungkin tetap terjadi," ujar ahli gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Wahyu Triyoso, dalam keterangan pers yang diterima Republika, Sabtu (17/12).
Yang perlu menjadi perhatian saat ini adalah pengecekan ulang kondisi perumahan masyarakat, apakah masih bisa dipakai atau tidak. Hal ini, kata dia, tentu saja perlu melibatkan orang-orang yang ahli dalam konstruksi bangunan. Diharapkan setelah ada pengecekan tersebut, mereka yang rumahnya masih dapat ditempati dapat segera kembali ke rumah masing-masing.
Masyarakat dapat melakukan pengecekan mandiri secara sederhana. Cek bangunan fondasi, ketegakan kolom, retakan bangunan, dan benda yang jatuh. Bangunan lebih dari satu lantai, penting melihat kerusakan struktunya. Namun, disarankan pengecekan ini dilakukan oleh ahli agar mendapatkan rekomendasi yang akurat.
Kerusakan bangunan, baik pasar, rumah, masjid, maupun lainnya terjadi karena banyak faktor. Struktur bangunan yang salah, besi yang tidak memenuhi standar, tidak ada tulangan geser, dan faktor lainnya. Faktor kualitas mutu bangunan, kerikil yang bulat bukan batu pecah, besi tulangan polos bukan ulir yang menyebabkan bangunan rusak, ujar Sutarji dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di posko utama Pidie Jaya.
Dari hasil inspeksi, bangunan masjid yang roboh, terjadi karena beban kubah yang sangat berat, dan tidak ditopang dengan fondasi yang bagus. Getaran gempa mengakibatkan fondasi yang ada tidak mampu menahan kubah, sehingga bangunan masjid pun roboh.
Konsep rumah tumbuh juga memberikan kontribusi terhadap banyaknya rumah yang hancur. Fondasi dan tulangan yang didesain untuk satu tingkat, ternyata dikembangkan oleh masyarakat menjadi dua atau tiga tingkat. Beban ini tak mampu ditopang oleh konstruksi yang dibangun. Percepatan getaran gempa yang telah diukur dan dianalisis oleh BMKG membuktikan, percepatan maksimal terjadi pada bangunan dua atau tiga lantai. Percepatan puncak terjadi pada bangun dua dan tiga lantai, percepatan mencapai lima kali dibandingkan pada fondasi, ujar Mansyur Insyam dari Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia.
Izin pendirian bangunan yang tahan gempa, kata dia, perlu mendapatkan perhatian khusus. Agar dapat meminimalisasi dampak dan korban gempa yang mungkin terjadi. Geologi lokasi gempa sebagian besar adalah sedimen pasir. Jika terjadi gempa, pasir memadat menekan air dan air menekan balik. Sehingga, keluarlah lumpur di rekahan gempa, seperti yang terjadi di beberapa tempat.
Korban bukan disebabkan gempa bumi, tapi disebabkan bangunan yang roboh tidak mampu merespons getaran gempa, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho. rep: Qommaria Rostanti, ed: Nina Chairani