JAKARTA - Bulan suci Ramadhan segera datang. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan kali ini bersamaan dengan penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brasil. Terkait hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyeru umat Islam untuk mengutamakan ibadah daripada menonton pertandingan sepak bola yang ditayangkan langsung oleh televisi.
“Ramadhan adalah ibadah kepada Allah SWT bukan kepada yang lainnya. Ramadhan yang hanya datang satu kali dalam setahun sepatutnya lebih diutamakan. Sedangkan, (menonton pertandingan) bola hanya sebuah hiburan,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Prof Hj Amany Lubis kepada Republika, Rabu (11/6).
Sepanjang tahun, kata Amany, Allah telah memberikan rahmatnya kepada umat manusia. Sementara Ramadhan, yang hadir satu kali dalam setahun, adalah bulan yang sangat mulia. Lain halnya dengan pertandingan sepak bola, yang hampir setiap hari ada. Di sinilah, menurutnya, umat Islam yang menggemari sepak bola harus mengendalikan diri dan memilih waktu yang tepat agar tidak mengganggu ibadahnya.
“Orang sehat sekalipun pasti tidak akan menonton bola dari pagi hingga malam. Apalagi, kita adalah umat Islam, umat yang diajarkan untuk teratur dan disiplin terhadap waktu. Karena itu, menonton pertandingan sepak bola pada ajang Piala Dunia yang hanya merupakan hiburan seharusnya ditempatkan pada waktu membutuhkan hiburan. “Bukan sesuatu yang wajib.”
Ia menyarankan, umat Islam mempersiapkan jadwal ibadah yang akan secara rutin dilaksanakan saat Ramadhan. “Piala Dunia saja sudah ada jadwal yang ditetapkan, masak kita umat Islam yang beribadah untuk Allah yang memberikan limpahan rahmat tidak mempersiapkan yang terbaik,” lanjut Amany.
Ia menilai, ajang Piala Dunia sebenarnya tidak mengganggu Ramadhan, dari pelaksanaannya hingga olah raganya. Yang patut diperhatikan adalah menontonnya jangan berlebihan. “Sesuatu yang berlebihan sangat tidak baik, hal itu pun telah diajarkan oleh Islam. Contohnya, setelah menonton pertandingan selama dua jam, tak perlu lagi menonton tayangan bola selanjutnya. Bersegeralah mengutamakan apa yang telah diperintahkan, bukan mengutamakan apa yang diinginkan. Janganlah bola dijadikan segalanya,” paparnya.
Peran keluarga, menurut guru besar sejarah Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini sangat penting dalam memberikan pengertian dan pengawasan terkait tayangan televisi selama Ramadhan. Tak hanya tayangan pertandingan sepak bola, tetapi juga tayangan-tayangan lainnya yang tidak mencerminkan Ramadhan.
“Kita tidak ada hak untuk melarang, tidak bisa pula menghentikan. Di sinilah peran keluarga sangat penting dalam memberikan pengawasan, khususnya kepada anak-anak.”
Orang tua, menurut Amany, tak seharusnya memberikan kebebasan yang berlebihan kepada anak-anaknya dalam menonton pertandingan Piala Dunia. Sebaiknya, keluarga mengutamakan untuk menjalankan ibadah secara baik dan disiplin.
Ia juga menganjurkan keluarga untuk saling mengingatkan, kapan waktunya beribadah dan kapan waktunya menikmati pertandingan Piala Dunia. Ketika waktu shalat tiba segerakan untuk melaksanakannya dan tinggalkan dulu tontonan Piala Dunia. “Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika ada agenda nonton bareng yang bertepatan dengan waktu ibadah.”
Pahami substansi
Sementara itu, cendekiawan Muslim, Dr KH Didin Hafidhuddin, menyoroti perilaku konsumtif umat Islam selama Ramadhan. Menurut dia, perilaku konsumtif pada Ramadhan sebenarnya merupakan hal yang wajar. Sebab, ia mengungkapkan, ini sudah menjadi tradisi yang dijalankan umat Islam setiap menjalani bulan suci.
Ia tak mempermasalahkan ketika saat Ramadhan umat Islam berbelanja dalam jumlah lebih banyak dibandingkan hari biasa. Akan tetapi, pola pikirnya harus diubah, yaitu tidak hanya sekadar untuk diri sendiri, tetapi dialihkan untuk memberi kepada orang lain. Selain itu, menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ini, problem yang terjadi pada umat Islam saat memasuki Ramadhan, yaitu terjebak pada pemberian kepada orang lain secara langsung bukan lembaga. Padahal, semestinya pemberian tersebut harus jelas tujuan dan kriterianya.
Ia juga menegaskan, puasa tak hanya berorientasi fisik. Dalam melaksanakan ibadah puasa, setiap Muslim harus memahami substansi ibadah ini. Sebab, puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan dari hawa nafsu. rep:64 ed: wachidah handasah