Tingginya mencapai 3,5 meter dengan panjang lima meter. Sedangkan, beratnya ditaksir enam sampai delapan ton. Wow! Ini merupakan bobot seekor gajah yang pernah hidup di Indonesia. Sejarah keberadaannya terungkap dari penemuan fosil gajah purba di sekitar teras Bengawan Solo, wilayah Dusun Sungun, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Gajah purba tersebut secara fantastis ditemukan terkubur dalam keadaan hampir 90 persen utuh. Sinung Baskoro, Kepala Museum Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung, mengatakan, sejak ratusan tahun, baru pertama kalinya berhasil menemukan rangka hampir lengkap dari satu individu gajah
Rangka tersebut pertama kali ditemukan pada 18 Maret 2009. Seorang peneliti paleontologi vertebrata dari Museum Geologi Bandung, Iwan Kurniawan dan rekannya, Sidarto, melakukan pemetaan di sekitar teras Bengawan Solo. Saat itu ia melihat longsoran tebing pada galian pasir. Tempat itu merupakan teras sungai purba setebal 15 meter.
Berdasarkan hasil singkapan longsoran, terlihat tengkorak gajah dengan gading yang sudah lapuk. Singkapan fosil itu berada di kedalaman sekitar empat meter di bawah permukaan tanah dan berjarak 640 meter dari aliran Sungai Bengawan Solo.
Beberapa hari kemudian, di lokasi yang sama kembali terjadi longsoran. Longsoran itu kemudian menyingkap jika di dalam tanah tertimbun fosil tengkorak gajah dengan gigi utuh dan masih menempel pada rahang atas.
Melihat itu penggalian uji pun dilakukan dengan melibatkan tenaga lokal setempat. Tim Museum Geologi yang berjumlah 10 orang kemudian menemukan fosil gajah yang cukup lengkap. Kondisi anatomis pun masih terjaga, yang menunjukkan fosil itu tidak mengalami transportasi.
"Dilihat dari lempeng giginya, gajah ini gajah primitf jenis Elephas hydsudrindicus, nenek moyang gajah sumatra sekarang, yaitu Elephas maximus sumatranus," ujar Sinung.
Untuk proses preparasi fosil tersebut, dibutuhkan waktu empat tahun. Kini, proses persiapan rekonstruksi, seperti pembersihan, identifikasi, perbaikan fosil rusak, pengukuran, dokumentasi, permodelan, dan perwarnaan sudah rampung. Sinung mengatakan, para ahli membutuhkan waktu cukup lama karena mereka membutuhkan proses detail dan akurat agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ia mengatakan ada pula beberapa bagian tulang yang tidak ditemukan. Sehingga saat rekonstruksi, pihak Museum Goelogi menggunakan rangka gajah sumatra yang disesuaikan skalanya. Kini pembuatan replika pun sudah dirampungkan. Replika ini dibutuhkan untuk keperluan ilmu pengetahuan yang bertujuan melindungi fosil asli yang lebih rapuh. "Pembuatan replika ini juga sebagai bahan tukar koleksi dengan museum lain atau universitas untuk bahan ajar," katanya.
Pihak museum telah membuat dua set replika fosil gajah purba yang telah terekonstruksi. Sinung mengungkapkan, satu replika akan dipajang permanen di Museum Geologi. Sedangkan, satu replika lagi diberikan ke Pemda Blora. Pemberian ke Pemda Blora tersebut sesuai perjanjian ketika pihak museum akan membawa fosil itu ke Bandung.
Fosil gajah purba yang asli, Sinung mengatakan, masih disimpan di storage museum. Hingga kini, fosil asli itu masih dalam tahap penelitian. Jika fosil asli tersebut dipajang, akan sulit diteliti.
Sesuai peraturan museum, memang ada larangan memajang koleksi yang langka. Pemajangan koleksi, menurutnya, harus diganti dengan replika untuk perlindungan. "Mungkin hanya jika ada acara tertentu, tapi akan sulit nanti kalau direkostruksi untuk dipajang. Karena fosil aslinya lebih berat, sangat riskan," ujar Sinung.
Penjelasan tersebut secara tak langsung meluruskan rumor terkait pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang pernah mengatakan fosil asli gajah purba itu akan dikirim ke Museum Internasional. Menanggapi hal itu, dosen arkeolog Universitas Gajah Mada (UGM) Dwi Prandnyawan mengatakan, tak ada dasarnya jika koleksi langka seperti itu harus disumbangkan ke pihak asing.
Memang ada pengecualian, jika sejak awal kesepakatan penelitian bersama hak kelola data ada pada pemberi dana. Namun, jika tidak ada, menurutnya, harus dikelola oleh Indonesia apa pun kesulitannya. Menurutnya, jika itu merupakan benda dari hasil penelitian di Indonesia maka harus dikelola oleh Indonesia sebab merupakan tanggung jawab.
Evolusi gajah
Fosil gajah purba yang ditemukan di Indonesia sejauh ini umumnya hanya berupa tengkorak, gading, geligi, dan tulang rangka yang tidak utuh. Hal tersebut menyulitkan proses rekonstrusi bentuk. Selain itu, hubungan kekerabatan antarspesies gajah pun menjadi sulit untuk diketahui.
Penemuan gajah purba dari Blora akhirnya memberikan petunjuk lebih banyak lagi mengenai evolusi gajah di Indonesia. Selain itu, juga petunjuk bagi teka-teki missing link dan interaksi antara manusia purba dan lingkungannya.
Sinung mengatakan, suatu penemuan baru akan mengubah pohon silsilah. Karena akan ada bukti baru, pertanyaan baru. Ilmu akan terus berkembang dan temuan fosil gajah di Blora, menurut Sinung, menjawab permasalahan sekaligus memunculkan permasalahan baru.
Ia menjelaskan, dalam evolusinya, Elephas hysundrindicus termasuk pendatang paling akhir dari keluarga gajah (Proboscidaea). Ia merupakan spesies endemik yang dikenal hanya berasal dari Jawa.
Jenis ini berasal dari bentuk awal tipe Elephas hysudricus yang dikenal dari lapisan Pleistosen awal di Myanmar dan Sub Benua India. Fosil yang ditemukan di Desun Sungun ini sangat mirip juga karakteristik morfologinya dengan jenis gajah sekarang, yaitu Elephas maximus. Hanya saja, dari segi ukuran gajah purba ini jauh lebih besar.
Hingga kini hanya ada dua jenis gajah yang masih bertahan hidup, yaitu gajah afrika dan gajah asia. Dari perkembangan evolusi dan penyebaran, ada tiga jenis gajah yang pernah hidup di kepulauan nusantara. Ketiganya, yaitu Mastodon, Stegodon, dan Elephas. Kini gajah sumatra merupakan satu-satunya spesies gajah yang masih bertahan di Indonesia meski dalam tekanan ekologi yang tidak ringan. "Spesies Elephas dilihat dari jumlah keping graham dan tengkorak," kata Sinung.
Kedua elemen tersebut merupakan bagian terbaik untuk menentukan silsilah keturunan gajah. Hal itu semakin mudah karena kondisi geraham dan tengkorak yang lengkap. Geraham ini kebetulan juga merupakan geraham terakhir, yaitu ke-6 (m6). Hal ini menunjukkan bahwa individu gajah purba tersebut telah tumbuh hingga dewasa.
Selain itu, keping geraham ini dapat pula digunakan untuk mengetahui pola diet gajah tersebut. Hal itu dilakukan dengan mengambil sampel enamel graham. "Hasil analisis menyebutkan gajah ini sudah mulai kompleks makanannya, buah, daun, rumput. Kalau sebelumnya kan rumput aja. Bisa diketahui juga ketersediaan makanan pada saat itu bergeser ke arah savana," ujar Sinung menjelaskan.
rep:c69 ed: andi nur aminah