Masyarakat di wilayah Jawa, khususnya yang bermukim di lereng Gunung Merapi dan Merbabu, hingga saat ini masih melestarikan tradisi sadranan atau nyadran. Tradisi ini merupakan acara syukuran yang dilaksanakan menjelang Ramadhan. Ribuan warga di kawasan tersebut masih rutin mengadakan kenduri turun-temurun.
Setidaknya, masih ada empat kecamatan di Kabupaten Boyolali yang setiap tahun atau bulan Ruwah selalu menggelar sadranan. Keempat kecamatan itu adalah Kecamatan Selo, Ampel, Musuk, dan Cepogo.
Tradisi sadranan digelar di masing-masing desa dengan pelaksanaan yang dilakukan menurut kepercayaan masyarakat. Tapi, tradisi tersebut dilaksanakan bersamaan, yaitu pada bulan Ruwah, bulan penanggalan Jawa, atau Sya'ban. Selain dilakukan masyarakat sekitar, tradisi ini juga diikuti warga yang merantau ke luar daerah dan sengaja pulang kampung untuk nyekar ke leluhurnya.
Tradisi dimulai sehari sebelumnya dengan membersihkan makam leluhur. Setelah itu, keesokan pagi, mereka datang ke makam sambil membawa tenong atau semacam wadah berisi berbagai makanan, nasi berikut lauknya dan buah-buahan. Tradisi ini tidak hanya dilakukan orang dewasa. Tapi, anak-anak pun ikut arus dalam tradisi ini. Tak heran, suasana sadranan menjadi semakin meriah. Sebelum kenduri sadranan dimulai, warga membaca tahlil dan zikir serta doa bersama.
Biasanya, doa-doa dilakukan pemuka agama setempat. Usai pembacaan doa, tenong berisi menu makanan dan jajanan pasar pun dibuka. Setelah itu, makan bersama dimulai. Warga bebas mengambil makanan yang disukai milik siapa pun yang hadir. Mereka juga saling bertukar makanan.
Menurut sesepuh Dusun Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Hadi Sutarno (70 tahun), tradisi sadranan sudah dilaksanakan sejak zaman nenek moyang. Acara ini dimaksudkan untuk mendoakan leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia.
Hadi mengatakan, dalam tradisi sadranan, keutamaannya adalah untuk mengirim doa kepada para leluhur. ''Untuk sanak keluarga yang telah meninggal dunia, kita pun memohon kepada Allah agar dosa-dosanya dapat diampuni dan mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan,'' ujar Hadi, belum lama ini.
Selain itu, kegiatan yang berlangsung setiap tahun ini juga dimaksudkan untuk melestarikan tradisi yang sudah menjadi budaya peninggalan nenek moyang. Setelah acara sadranan, selanjutnya akan diikuti dengan melakukan ziarah ke makam para leluhurnya atau oleh warga biasa disebut besik. Waktu besik bisa dilakukan kapanpun sebelum memasuki Ramadhan.rep:edy setoyoko ed: andi nur aminah