Peminta-minta atau pengemis bukan komunitas yang asing di negeri kita. Kehadirannya mudah ditemui di kotakota, tak terkecuali di ibu kota negara, Jakarta.
Bukan kabar baru pula jika ada pengemis yang mampu menangguk penghasilan jauh melebihi pegawai kantoran. Fakta itu sedikit banyak menggambarkan tingginya semangat warga untuk berbagi kepada kaum papa.
Bagi umat Islam, semangat untuk berbagi itu se makin meningkat pada bulan suci Ramadhan. Alhasil, peminta-minta pun terlihat semakin banyak, bahkan cenderung tak terkendali.
"Ini penyakit sosial yang terus-menerus terjadi setiap tahun, perlu ketegasan dan kekompakan pemerintah dan masyarakat agar penyakit ini selesai. Caranya, sayangi mereka dengan tidak memberi," ujar Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Prof KH Didin Hafidhuddin kepada Republika, Selasa (24/6).
Mengapa demikian? Menurut Kiai Didin, sebagian besar peminta-minta memiliki men tal lemah. Mereka menginginkan peng hasilan besar, tapi malas bekerja keras. Karena itu, pemerintah daerah dan pusat tidak boleh me lakukan pembiaran terhadap "pameran mis kin" setiap kali menjelang dan sepanjang Ra madhan. "Caranya, lakukan penertiban," ujar nya.
Masyarakat pun, kata Kiai Didin, harus kompak menghentikan pemberian uang secara sembarangan kepada peminta-minta. Sebab, masih banyak masyarakat lain yang lebih perlu dibantu, misalnya tukang penyapu jalan, penunggu toilet umum, dan lainnya.
"Mereka itulah yang jelas kerja kerasnya, namun belum berdaya karena mungkin belum punya modal," katanya. Sedangkan, para pe minta-minta umumnya hanya mengandalkan "pamer ketidakberdayaan" untuk menangguk penghasilan besar.
Menjamurnya peminta-minta yang terus berulang setiap tahun, menurut Kiai Didin, merupakan tanggung jawab seluruh umat Islam. Penting bagi masyarakat untuk peka memberi kepada mereka yang benar-benar membutuhkan atau memercayakan penya lur an zakat kepada lembaga atau badan pengelola zakat, infak dan sedekah (ZIS) yang tepercaya. "Agar tepat sasaran, sekaligus tak mem biarkan penyakit sosial ini langgeng."
Pemerintah pun seharusnya gencar me nertibkan sekaligus menyediakan lapangan kerja alternatif agar mereka yang berprofesi sebagai pengemis bisa beralih kepada pe ker jaan yang lebih terhormat.
Hal senada diungkapkan Direktur Institut Manajemen Zakat (IMZ) Kushardanta S. Me nurutnya, fenomena menjamurnya pe min taminta saat menjelang dan sepanjang Ra madhan sangat dipengaruhi oleh faktor bu daya.
"Di satu sisi, ada semangat tinggi dari masyarakat untuk bersedekah, tapi semangat ini dimanfaatkan oleh mereka yang malas dan telanjur nyaman meminta-minta," ujarnya.
Kebiasaan ini, ia mengungkapkan, ber dam pak pada terus meningkatnya minat orang untuk menjadi pengemis. Banyak dari pe ngemis tersebut berasal dari daerah. Mereka berbondong-bondong menuju kota besar, terutama Jakarta, karena melihat potensi keuntungan dengan meminta-minta.
Kushardanta melihat banyak hal yang menjadi penyebab suburnya pertumbuhan pengemis. "Seperti ayam dan telur, penyakit sosial ini saling berkaitan," katanya.
Untuk mengatasi penyakit sosial ini, ia mendesak pemerintah untuk fokus pada pe nyediaan lapangan kerja di daerah, meng gencarkan pembangunan daerah, dan me mudahkan akses distribusi dari dan ke daerah.
Mengenai pemberian uang dari masyarakat secara langsung kepada pengemis, ia meng hargai pilihan masyarakat dalam bersedekah. Ia melihat hal itu merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk berinfak dan bersedekah. Ia mengimbau agar masyarakat lebih cerdas dalam melakukan hal itu. Ia pun menyarankan warga untuk mengalokasikan dana zakat, infak, dan sedekah ke daerah. ¦ c78 ed: wachidah handasah