Menahan lapar dan dahaga ketika Ramadhan tiba, menjadi pengalaman berharga tatkala berada di negeri orang. Perbedaan waktu dan kondisi iklim menjadi tantangan yang harus dijawab Muslim yang sedang berkelana.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruqutni mengaku memiliki pengalaman unik dan tidak biasa saat harus menghadiri undangan di Swiss pada Ramadhan tahun lalu.
"Saat itu pertengahan Ramadhan, saya menghadiri undangan pengajian di Swiss selama 10 hari dan mengalami hal unik saat melaksanakan ibadah puasa di Swiss," ujar Imam saat diwawancarai Republika, Kamis petang (27/6).
Ternyata, di Swiss itu waktu siangnya lebih panjang dari waktu malamnya. Imam pun harus berpuasa selama 20 jam lamanya. Dalam Islam, memang musafir tidak diwajibkan berpuasa, namun Imam mengaku tetap ingin berpuasa untuk menjaga bulan Ramadhan yang khidmat ini. "Jadi, saya baru buka puasa pukul 10 malam waktu Swiss dan pengajian sampai pukul satu malam waktu setempat," kataImam.
Imam mengaku itu merupakan pengalaman yang luar biasa baginya yang biasa tinggal di Indonesia. Di nusantara, waktu siang dan malam hampir sama. Sedangkan di Swiss, jauh berbeda. Jadi, berpuasa di Swiss itu hampir 24 jam, dengan waktu berpuasa 20 jam dan empat jam sisanya waktu berbuka.
Tak sekadar ditantang menahan lapar yang lama, Imam pun memiliki kendala saat sahur dan berbuka. Di negeri jam itu, jarang ditemui makanan bersertifikat halal. Terlebih, banyaknya daging babi dijual di Eropa Barat. Meski demikian, Imam mengaku masih banyak makanan halal alternatif yang bisa ditemui.
"Ini dalam pengertian, seperti ikan laut, tongkol, ayam, kalkun, dan cakalang, itu dengan mudah kita beli dan dapatkan," kata Imam. Hanya, ia mengaku terbantu dengan adanya komunitas Muslim di sana dalam memilah makanan halal.
Saat Idul Fitri, Imam pun berkesempatan memberikan khotbah. Ketika itu, ia melihat berbagai komunitas Muslim, baik yang asli dari Swiss, Jerman, Prancis dan Mesir. "Termasuk, orang Indonesia yang menikah dengan orang Swiss, lalu tinggal dan memiliki anak di sana dan tetap beragama Islam," ujar Imam.
Dialog Agama
Saat berdialog dengan komunitas Muslim di Swiss, Imam merasakan hal menarik terkait pertanyaan agama, terutama soal fikih antarjenis, fikih antargolongan, dan fikih budaya. Termasuk, persoalan-persoalan yang laten, seperti puasa.
Contohnya, harus 20 jam berpuasa. Menurut Imam, diskursus fikih di Swiss dan negara-negara Skandinavia umumnya berbeda dengan di Indonesia. "Kalau di Indonesia itu, saya kira persoalannya fikih tropis, kalau di Swiss dan negara-negara Skandinavia lainnya, itu masuk ke persoalan fikih subtropis," kata Imam.
Ia menilai, persoalan perbedaan fikih di sana sangat menarik dan perlu kajian mendalam untuk mempelajarinya. Menurut Imam, fikih tropis itu dari Indonesia sampai ke wilayah negara-negara Arab karena waktu siang dan malamnya hampir sama, 50 persen.
"Tapi, kalau di negara-negara Skandinavia hingga Benua Amerika, itu waktu siangnya jauh lebih lama dari waktu malamnya. Ini sangat menarik dikaji, termasuk masalah kesulitan air di sana," ujarnya.
rep:c57 ed:a syalaby ichsan