Assalamualaikum wr wb.
Saya seorang pilot yang selalu bepergian ke berbagai negara. Yang ingin saya tanyakan, apakah saya termasuk musafir? Apakah saya harus berpuasa atau mengqadhanya?
AW
Tangerang
Waalaikumussalam wr wb.
Salah satu sebab yang membolehkan untuk tidak berpuasa, yakni sakit dan dalam keadaan safar (bepergian). Ini rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah SWT. Kebolehan untuk tidak berpuasa tersebut disertai perintah untuk mengganti pada hari lain.
Musafir yang memperoleh keringanan, yaitu yang berada dalam perjalanan dengan syarat tertentu. Di antara syaratnya, jarak perjalanan yang membolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 89 km serta kepergiannya tidak untuk kepentingan maksiat. Ketentuan ini, antara lain, dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 6.
Seorang musafir boleh memilih puasa atau tidak berpuasa. Pilihan ini dikembalikan kepada yang bersangkutan sesuai kondisinya. Bagi yang tidak berpuasa, dia wajib untuk menggantinya pada hari lain.
Jika tidak ada sebab yang mendesak bagi musafir untuk membatalkan puasa, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah, berpuasa lebih baik. Dalam kondisi normal, tetap menjalankan puasa merupakan hal yang lebih dianjurkan.
Dalam hal yang Anda tanyakan, pilot merupakan profesi yang jenis pekerjaan rutinnya adalah bepergian dari satu daerah ke daerah lain. Karena sudah menjadi rutinitas, bepergian baginya merupakan suatu hal yang biasa, termasuk kondisi ketahanan tubuhnya.
Artinya, kondisi dia bepergian secara umum tidak menyebabkan adanya kesulitan. Sedangkan, jika dia mengambil dispensasi untuk tidak puasa, dia tetap memiliki kewajiban menqadha puasa. Jadi, sebaiknya tetap berpuasa sepanjang fisiknya memungkinkan.
Mengenai waktu berbuka puasa, sesuai ketentuan syariah, yakni terbenamnya matahari di mana kita berada. Jika seseorang bepergian, Subuhnya di Jakarta, kemudian menuju Jeddah misalnya, waktu berbukanya, yaitu saat matahari tenggelam di Jeddah. Wallahu a’lam bish shawab.