Oleh: Prof Nasaruddin Umar -- Ramadhan dikenal juga dengan bulan pertobatan. Tobat, menurut Syekh Ibn Athaillah, ada dua jenis, yaitu tobat inabah dan taubat istijabah. Tobat inabah ialah sikap tobat seseorang yang didorong rasa takut terhadap dosa dan maksiat.
Terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa serta malapetaka Tuhan yang amat pedih di neraka. Dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya membuatnya betul-betul takut kepada Allah SWT.
Dalam suasana takut seperti itu, ia menyerahkan diri, bertobat, dan memohon pengampunan kepada Allah. Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya seandainya Allah tidak memaafkannya.
Siang dan malam ia selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis segala dosanya, sebagaimana firman Allah, "Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi’at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan dosa)." (QS Hud [11] :114).
Sedangkan, tobat istijabah merupakan bentuk tobat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan-Nya. Tobat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiat sebagaimana dalam tahap tobat inabah.
Tobat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panas api neraka-Nya. Yang membuat seseorang tersiksa ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah.
Mestinya, ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya, tetapi malah melakukan dosa dan maksiat. Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya tega melakukan sesuatu yang memalukan.
Ketersiksaannya lebih berat ketimbang ia masuk ke dalam neraka. Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadap Tuhannya, ia akan memilih disiksa di neraka.
Pertanyaan kepada diri kita, jenis tobat apa yang kita miliki? Apakah kita sudah melakukan penyesalan terhadap dosa dan maksiat yang telah kita lakukan? Apkah kita tergolong yang selalu membayangkan panasnya api neraka setelah melakukan dosa dan maksiat?
Apakah sudah terbetik rasa malu kepada Allah setelah kita melakukan dosa? Apakah telah muncul penyesalan mendalam dan bertekad untuk memutuskan segenap dosa-dosa dan maksiat langganan kita karena takut atau malu kepada Allah?
Apakah kita telah mengganti langganan dosa dan maksiat itu dengan amal kebajikan? Atau, kita sama sekali belum melakukan perubahan di dalam diri kita, dosa, dan maksiat masih berjalan terus tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Kita sepantasnya mengintip umur kita.
Tanda-tanda ketuaan apa yang sudah kita miliki, semisal, uban sudah bercampur di tengah rambut hitam, rasa ngilu di tulang persendian sebagai gejala penuaan, dan pembatasan oleh dokter pribadi, seperti makanan dan pergerakan fisik.
Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figur keteladanan orang tua atau mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita? Tataplah diri kita tanpa topeng kepalsuan.
Apakah diri kita pantas diidolakan atau mereka semua terkecoh topeng-topeng kepalsuaan yang melekat di wajah kita? Di depan mereka, kita menampilkan diri sebagai malaikat, tetapi di luar sana kita iblis. Ini hakikat kemunafikan yang harus dijauhi. Wallahu a’lam.