Oleh:Prof Nasaruddin Umar -- Kata mujahadah berasal dari kata jahada berarti bersungguh-sungguh, berjuang. Dari akar kata ini lahir kata jihad berarti berjuang dengan fisik, ijtihad berjuang dengan pikiran, dan mujahadah berjuang dengan batin.
Dalam literatur sufi, mujahadah diartikan sebagai perjuangan dan upaya optimal untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah SWT. Ada juga yang mengartikannya perjuangan melawan diri sendiri.
Yakni, melawan kekuatan pengaruh hawa nafsu yang menghambat seseorang sampai ke martabat utama, "puncak ketakwaan" (haqqa tuqatih/QS Ali Imran [3]:102). Ahli haqiqah mengartikannya melawan kemauan hawa nafsu liar.
Mujahadah bisa dianggap sebagai kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Bisa juga dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Idealnya, seorang Muslim memadukan ketiga istilah ini di dalam dirinya.
Jihad tanpa ijtihad dan mujahadah sama dengan nekat dan ini dilarang dalam QS al-Baqarah [2]: 195. Ijtihad tanpa mujahadah berpotensi menjadi sekularis dan ini menyalahi QS al-Araf [7]:179.
Mujahadah tanpa jihad dan ijtihad cenderung "beragama secara kamuflase" dan ini dicela dalam QS al-Maa’un [107] :1-7. Kombinasi ketiga konsep tersebut itulah yang dimaksud dan diperintahkan Islam.
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS al-Ankabut [29]:69)
Mujahadah dicirikan pada beberapa hal, antara lain, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, tidak tidur melainkan hanya sedikit sekali, dan tidak berbicara kecuali yang sangat perlu.
Menurut Ibrahim ibn Adham, ciri-ciri mujahadah meliputi menutup pintu kenikmatan lalu membuka pintu kegetiran, menutup pintu popularitas lalu membuka pintu kesederhanaan, menutup pintu istirahat lalu membuka pintu kesibukan (spiritual), menutup pintu tidur lalu membuka pintu jaga, menutup pintu kekayaan lalu membuka pintu kefakiran (merasa cukup dengan apa yang sudah ada), dan menutup pintu angan-angan (duniawi) lalu membuka pintu persiapan kematian.
Pengamalan mujahadah tidak mesti dipertentangkan dengan kesibukan duniawi karena kesibukan duniawi itu bisa berfungsi sebagai jihad, perjuangan untuk memenuhi kebutuhan fisik (basic needs).
Setiap orang, kaya atau miskin, pemimpin atau rakyat, laki-laki atau perempuan, semuanya memiliki peluang melakukan mujahadah. Jenis mujahadah sangat subjektif, mengikuti kondisi objektif setiap orang.
Namun, setiap orang idealnya mengupayakan peningkatan posisi spiritual dari hari ke hari. Alangkah ruginya seseorang kalau tingkatan keimanannya datar dari hari ke hari dan lebih merugi lagi orang yang posisi keimanannya semakin hari turun.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan keimanan dan prestasi spiritual itulah yang disebut dengan mujahadah. Tantangan mujahadah, yakni pengaruh hawa nafsu.
Sikap melawan dominasi hawa nafsu di dalam diri, itulah yang disebut dengan al-mukhalafah al-nafs (memilih sikap berbeda dengan keinginan hawa nafsu). Hawa nafsu di sini dalam konotasi yang negatif, seperti amarah, takabur, hasad, kikir, riya, buruk sangka, dengki, keluh kesah, egois, sewenang-wenang, sembrono, kasar, dan sikap negatif lainnya.