NAIROBI — Enam puluh karyawan Palestina dipecat dari perusahaannya bekerja di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat. Mereka diberhentikan secara sepihak setelah memprotes menu makanan yang dianggap kurang untuk berbuka. Sedangkan, para karyawan dilarang membawa makanan dari rumah.
Media Israel Haaretz melaporkan, 60 karyawan tersebut bekerja di perusahaan Sodastream. Perusahaan ini membuat mesin soda untuk di rumah.
Organisasi buruh yang mewakili pekerja Palestina WAC MAAN melaporkan, para karyawan pada jadwal malam mengeluhkan sedikitnya jatah makanan. Padahal, mereka sudah berpuasa lebih dari 16 jam. Pekerja melaporkan nasib mereka pada awal Juli lalu.
"Sebanyak 60 pekerja yang dilarang membawa makanan dari rumah karena aturan makanan Yahudi mengaku mereka tak memperoleh asupan cukup dari perusahaan setelah 16 jam berpuasa," ujar Koordinator MAAN di Yerusalem, Erez Wagner, Ahad (20/7).
Wagner mengatakan, karyawan mencoba menjelaskan masalah ini ke manajemen. Muslim yang berpuasa sulit untuk bekerja tanpa asupan makanan memadai. Bahkan, kondisi lapar dan kecapaian akan membahayakan karyawan yang bekerja dengan mesin-mesin besar
Menurut keterangan Wagner, seorang eksekutif menuduh para pekerja mencoba membangun gerakan konfrontasi. Pada hari itu, pihak manajemen meminta para karyawan pulang ke rumah. Manajer pengatur jadwal mengatakan, jam kerja malam ditangguhkan hari itu dan ia berjanji masalah ini akan diselesaikan. "Namun pada hari berikutnya, semua pekerja malam mendapat surat pemberhentian. Mereka diminta untuk memulangkan kartu karyawan," ujar Wagner.
Tak hanya di situ, para pekerja juga mendapat perlakuan tak menyenangkan. Karyawan tak boleh membawa pulang barang-barang mereka yang masih tertinggal di perusahaan. "CEO Sodastream Daniel Birnbaum ingin membuat perusahaan mereka seperti oasis hubungan Yahudi dan Arab, tapi pada kenyataannya tidak," katanya.
Sodastream mengatakan, para pekerja dipecat karena mereka memprovokasi aksi unjuk rasa liar tanpa alasan jelas. Pejabat perusahaan yang tak ingin disebutkan namanya menyayangkan sikap WAC-MAAN yang datang ke media tanpa mengecek fakta.
"Proses pemecatan telah dijalankan dengan benar. Para pekerja telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Dan, mereka tidak menolak pembayaran pesangon," ujarnya.
Kondisi warga Palestina di Tepi Barat memang tak semenderita di Jalur Gaza. Di Jalur Gaza warga tak bisa menjalankan ibadah Ramadhan dengan tenang setelah Israel membombardir wilayah mereka. Ribuan warga Gaza mengungsi dan lebih dari 400 orang tewas.
Jam malam
Secara terpisah, para pemimpin Muslim di Kenya tak setuju dengan aturan jam malam yang belaku di Lamu. Aturan yang diperintahkan oleh Irjen David Kimaiyo menjadi masalah karena dianggap melanggar kebebasan beribadah selama Ramadhan.
"Inspektur Jenderal harus tahu, ibadah malam sangat berarti bagi umat Islam pada bulan suci Ramadhan, terutama pada 10 malam terakhir," kata Prof Abdulghafur El-Busaidy, Ketua Dewan Tertinggi Muslim Kenya, seperti dilansir dari News Time Afrika, Senin (21/7). Ia meminta pemerintah menghapus batasan itu.
Selama sepuluh hari terakhir bulan puasa, para Muslim sengaja berkumpul di masjid untuk melakukan shalat malam khusus. Sayangnya, Kimaiyo justru memerintahkan semua penduduk Lamu tetap di dalam rumah pada pukul 18.30-06.30 waktu setempat selama 30 hari ke depan.
Lamu merupakan wilayah yang terletak di sebelah timur laut Ibu Kota Kenya Mombassa. Jam malam tersebut diberlakukan setelah dua hari sebelumnya, tujuh orang termasuk empat polisi, ditemukan tewas. Kejadian itu berawal dari penyerangan bus Lamu oleh kelompok militan Somalia, Al-shabaab. Kelompok itu mengaku bertanggung jawab atas serangan yang terjadi.
"Menjaga keamanan di daerah Lamu merupakan yang terpenting, namun menghalangi kesetiaan para Muslim beribadah pada bulan suci, jelas tak bisa diterima," ujar Aden Dualle, pemimpin mayoritas di parlemen menegaskan. Ia mengimbau agar penduduk Muslim mengabaikan jam malam tersebut.
"Muslim di Lamu harus pergi ke masjid selama 10 terakhir bulan Ramadhan walaupun malam," katanya menambahkan. Menurutn Dualle, perintah agama lebih penting daripada aturan jam malam.
Empat kelompok Muslim yang berbasis di Mombassa mengancam akan menuntut pemerintah ke pengadilan karena aturan ini. Dalam pernyataan bersama, keempat kelompok itu meminta jam malam dihentikan sebab melanggar kebebasan beribadah.
rep:c91 ed: teguh firmansyah