Matahari baru menunjukkan sedikit sinarnya. Pagi itu, Senin (4/8), jarum jam masih belum beranjak dari angka enam.
Ribuan warga dari berbagai daerah, baik dari wilayah Cirebon maupun Indonesia, seakan tak peduli. Mereka sudah berdesakkan di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Sembung, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Mereka umumnya datang secara berombongan. Warga bermaksud untuk mengikuti tradisi Grebeg Syawal yang diselenggarakan Keraton Kanoman Cirebon.
Foto:dedhez anggara/antara
Grobeg Syawal Keraton Kanoman
Saat Sultan Kanoman XII, yakni Sultan Raja M Emirudin, tiba di lokasi, antrean pecah. Ribuan pengunjung langsung berebut untuk melihat dan menyentuh keturunan Sunan Gunung Jati itu. Dengan pengawalan ketat, sultan dan kaum kerabat pun berjalan menembus kerumunan pengunjung menuju tujuh dari sembilan pintu yang ada di kompleks bangunan yang dibangun sejak 1479 tersebut.
Adapun tujuh pintu itu secara berurutan dari yang paling bawah letaknya, yakni pintu Pasujudan, Ratnakomala, Jinem, Rararoga, Kaca, Bacem, dan Teratai.
Ketujuh pintu tersebut hanya boleh dilewati oleh sultan dan kaum kerabatnya saja. Karena itu, pada hari-hari biasa ketujuh pintu ituselalu ditutup. Hanya pada saat-saat tertentu saja pintu yang terletak di bangunan yang berarsitektur antara gaya Timur Tengah dan Hindu itu dibuka, yakni saat Grebeg Syawal, Grebeg Ageng, dan saat sultan dan kaum kerabatnya ingin berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.
Sesaat setelah sultan dan kerabat memasuki pintu ketujuh, rangkaian doa, zikir, dan tahlil yang merupakan agenda utama Grebeg Syawal langsung bergema.
Selain itu, sebagian peziarah lainnya tampak berdesak-desakan menuju pintu ketujuh untuk melemparkan uang dan bunga yang telah mereka bawa. Mereka berharap hal itu dapat memberi mereka berkah. Tak jarang di antara peziarah yang terlihat mengusap pintu dan mengusapkannya kembali ke wajah mereka. Mulut mereka pun terlihat komat-kamit berdoa.
Dalam waktu yang sama, lantunan doa, zikir, dan tahlil juga dilakukan oleh sultan dan para kerabatnya di dalam ruangan makam Kanjeng Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah yang berada di puncak bukit Astana Gunung Sembung.
Di dalam ruangan itu terdapat pula makam Ratu Mas Rarasantang (ibunda Sunan/Putri Prabu Siliwangi), Pangeran Cakrabuana (uwa Sunan/Putra Prabu Siliwangi), Fatahillah (menantu Sunan), Pangeran Pesarean (putra Mahkota Sunan), Putri Ong Tien (putri Kaisar Cina yang menjadi salah seorang istri Kanjeng Sunan Gunung Jati), dan beberapa kerabat sultan lainnya.
Rangkaian ritual serupa juga dilakukan di makam Panembahan Ratu (cicit Sunan/Raja Cirebon ke-2) serta di makam para Sultan Kanoman yang telah wafat.
Selesai merapal doa, sultan dan kerabatnya menyantap sajian makan siang. Kemudian, keluarga istana pun melemparkan uang logam ke arah kerumunan peziarah. Pembagian uang logam menjadi perlambang kemurahan hati dan bagi-bagi rezeki dari sultan dan kerabatnya itu.
Para peziarah pun berusaha untuk berebut uang logam tersebut. Mereka juga berupaya untuk mendapat sisa makanan dan minuman yang telah disantap sultan dan kerabatnya. "Biar dapat berkah," ujar salah seorang peziarah asal Semarang, Sunarti.
Pada kesempatan itu, sebagian pengunjung juga berebut untuk mandi dan berwudhu di tujuh sumur yang terletak di kompleks makam. Setelah itu, mereka membawa air dari sumur tersebut pulang ke rumah.
"Semoga air ini bisa membawa berkah," kata seorang pengunjung asal Majalengka, Fakhrudin. Keraton Kanoman sebenarnya berusaha meluruskan makna tradisi tersebut.
"Sejatinya, prosesi Grebeg Syawal merupakan ziarah kubur yang melibatkan seluruh keluarga keraton kepada Sunan Gunung Jati, para sesepuh, dan kerabat keraton yang sudah meninggal," ujar seorang abdi dalem Keraton Kanoman, Mustaqim Asteja. rep:lilis sri handayani/c67 ed: a syalaby ichsan