Sosialisasi harus mencapai kepala sekolah dan para guru di daerah yang rentan kasus diskriminasi terhadap siswi Muslim.
JAKARTA — Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 yang mengatur seragam jilbab bagi siswi Muslim dinilai belum tersosialisasikan dengan baik. Dampaknya, masih ada sekolah di daerah minoritas Muslim terkesan melarang penggunaan jilbab.
“Tanggung jawab sosialisasi oleh Diknas (Dinas Pendidikan Nasional) adalah yang paling penting karena dari hasil pemantauan kita, banyak sekolah yang belum tahu dan belum paham soal permen,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina kepada Republika saat dihubungi melalui telepon pada Sabtu (16/8).
Menurutnya, sosialisasi harus dilakukan agar keberadaan Permendikbud sebagai produk hukum tidak dijadikan sekadar formalitas yang tak memiliki dampak. Dia mengharapkan sosialisasi mencapai kepala sekolah dan para guru di daerah yang rentan kasus diskriminasi terhadap siswi Muslim.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Ilustrasi Jilbab
Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Bali Fathima Azzahra mengungkapkan, ada laporan dari wali siswa SMPN I Gerokgak Buleleng, Bali, soal adanya kesan pelarangan jilbab dari pihak sekolah.
Saat mendaftar ke SMPN I Gerokgak, orang tua tersebut memberi tahu bahwa anaknya telah berjilbab sejak di pendidikan dasar karena berasal dari madrasah ibtidaiyyah. Orang tua pun meminta pertimbangan sekolah saat hendak membelikan putrinya seragam.
“Sebaiknya, menyesuaikan dengan yang ada di sini,” kata Fathima mengutip orang tua yang mengulang perkataan kepala sekolah di sana. Maksud “menyesuaikan” ia tangkap sebagai anjuran untuk lebih baik tidak berjilbab sebagaimana umumnya siswa lain di sekolah tersebut.
Diakuinya, berdasarkan hasil investigasi terhadap 40 sekolah, tidak semua sekolah di Bali melakukan pelarangan secara gamblang dan eksplisit. “Ada yang jelas melarang, ada yang menyerahkan kepada dinas, dan ada juga yang bingung, tidak tahu apakah harus membolehkan atau tidak,” ujarnya memaparkan.
Salah satu yang sejak awal sudah membolehkan, yaitu SMKN III Singaraja. Adapun sekolah yang pada awalnya melarang kemudian membolehkan, SMA II Denpasar. Menurutnya, Itu terjadi setelah kasus pelarangan jilbab di sekolah tersebut mengemuka.
Kemendikbud menyatakan telah menyebarkan permen ke seluruh dinas se-Indonesia sebagai upaya sosialisasi. Bentuknya berupa edaran, posting via website, serta menyelenggarakan beberapa forum pertemuan. “Tidak ada sosialisasi khusus, tapi kita pantau lebih dekat untuk wilayah minoritas Muslim,” kata Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud Harris Iskandar.
Alasannya, Kemendikbud mudah berinteraksi dengan daerah. Maka dari itu, sosialisasi bisa diselipkan, misalnya dalam acara pertemuan dengan dinas, pembahasan kurikulum, atau pelatihan guru. “Kita punya banyak kesempatan, tapi pemantauan khusus ada di Bali dan Papua, juga di daerah yang minoritas Muslim saja,” katanya tanpa menjelaskan teknis pemantauan secara spesifik.
Dia pun mengingatkan untuk tak terlalu dini mengklaim permen tidak efektif sebab permen baru saja disosialisasikan. Harrris juga mengajak masyarakat untuk sama-sama mendukung dan memantau pelaksanaannya. “Kita kan sudah buat kebijakannya dan semua elemen masyarakat harus berpartisipasi aktif, tidak boleh hanya menonton, tapi harus mengawasi juga,” ujarnya.
Lagi pula, dia melanjutkan, seharusnya permen disikapi secara global. Harris optimistis permen efektif bagi hampir seluruh sekolah yang berjumlah 280 ribu se-Indonesia. Adapun pelanggaran dan diskriminasi dalam mengenakan jilbab, itu hanya satu dua kasus saja. “Meski, kita inginnya pelaksanaan permen seratus persen,” katanya. rep:c78 ed: a syalaby ichsan