Konsep beribadah dalam Islam selama ini lebih sering difokuskan pada tatanan hablun minallah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia). Sementara, banyak Muslim mengesampingkan hubungan dengan alam dan binatang.
Padahal, Islam adalah agama Rahmatan lil alamin yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta. Tak terkecuali, hewan dan tumbuhan.
Ancaman punahnya beberapa jenis satwa liar akhirnya mendorong pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2014. Fatwa yang lahir pada 22 Januari tersebut menegaskan pentingnya pelestarian satwa langka untuk keseimbangan ekosistem.
Terdapat beberapa pihak yang menginisiasi lahirnya fatwa nomor 4 tahun 2014 ini. Di antaranya, Kementerian Kehutanan, World Wild Fund (WWF), Universitas Nasional, dan Forum Harimau Kita.
Indonesia menjadi negara kedua, setelah Yaman, yang memiliki fatwa terkait pelestarian lingkungan hidup. Sebelumnya, majelis ulama di Yaman menyatakan haram terhadap penggunaan cula badak sebagai senjata.
Inovasi fatwa dari MUI pun mendapat sorotan luas dari berbagai media internasional. Mulai dari New York Times, the Guardian, Strait Times, hingga National Geographic mengangkat tema perlindungan terhadap alam.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Niam mengungkapkan, fatwa baru ini merupakan jawaban terkait ancaman kepunahan berbagai satwa langka. "Manusia sebagai khalifah selain memiliki mandat memanfaatkan alam, sekaligus menjaga kelestariannya," ujar Niam.
Hadirnya fatwa yang telah digodok selama lebih kurang tujuh bulan ini, lanjut Niam, menjadi kontribusi nyata dari masyarakat Muslim Indonesia terhadap pelestarian alam. Tak hanya berfokus pada norma agama semata, MUI juga melakukan tinjauan faktual ke lapangan demi mendapat data yang komprehensif.
Menurutnya, konservasi pelestarian alam memiliki peran penting dalam ajaran Islam. Baik dalam Alquran, hadis, dan ijtihad para ulama, kerap ditekankan perlunya keseimbangan antara pemanfaatan alam dengan pelestariannya.
Meski diperbolehkan memanfaatkan alam, Niam melanjutkan, adanya kepunahan terhadap spesies tertentu tetaplah menjadi tanggung jawab manusia sepenuhnya. "Kalau ada yang satwa yang punah, manusia bagaimanapun mempunyai andil dosa," ujarnya.
Efektivitas pendekatan agama
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga alam. Mulai pendekatan secara legal formal, sosial, dan tak ketingalan pendekatan agama.
Hadirnya fatwa nomor 4 tahun 2014 merupakan upaya pendekatan lewat agama yang diharapkan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup. Wakil Ketua Pusat Pengkajian Islam Dr Fachruddin Mangunjaya Msi mengungkapkan, agama diindikasikan merupakan faktor penting yang dapat mengubah perilaku masyarakat. Tak terkecuali, perilaku yang berkaitan dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Menurutnya, selama ini Islam sebenarnya memiliki banyak sekali ketetapan yang sifatnya sangat mengutamakan konservasi dan pelestarian lingkungan. "Ketika dalam keadaan ihram, sudah menjadi aturan bahwa kita tidak boleh membunuh binatang atau mencabut tanaman," ujar pria yang biasa disapa Rudi ini.
Hanya saja, Rudi melanjutkan, Islam di Indonesia lebih identik dengan pengaturan ibadah ritual dan sosial. Sementara, kajian tentang alam, binatang, dan tumbuhan menjadi isu yang terasa kurang familier dengan masyarakat Muslim Indonesia.
Padahal, di negara-negara Timur Tengah, Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai kajian lingkungan hidup. Salah satunya, lewat Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science yang dibentuk di Inggris pada 1994. Sayangnya, perkembangan pesat organisasi ini di Timur Tengah tidak diikuti dengan perkembangan serupa di kawasan Asia.
Menurut Rudi, pendekatan Islam dalam menjaga lingkungan di Indonesia sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Bagi masyarakat Mandailing, Natal, Sumatra Utara, dikenal konsep Lubuk Larangan yang melarang eksploitasi ikan di daerah aliran sungai.
Konsep ini, lanjut Rudi, kental dengan dengan unsur agama dan terbukti efektif membentuk perilaku masyarakat yang menjaga kelestarian alam. "Di sana, ketika lubuk larangan akan dibuka masyarakatnya akan menggelar yasinan terlebih dahulu," ujar dia.
Sang Perkasa yang tak Berdaya
Salah satu satwa yang tengah menghadapi ancaman nyata kepunahan adalah badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Dr Mohammad Haryono mengungkapkan, saat ini hanya terdapat 58 ekor badak jawa yang hidup di TNUK.
Menurutnya, ada sedikit peningkatan dari jumlah populasi pada 2012 yang hanya 51 ekor. "Dengan hanya penambahan tujuh ekor, populasi badak jawa bisa dibilang stagnan tanpa adanya peningkatan signifikan," jelas Haryono.
Terfokusnya populasi badak jawa di Ujung Kulon memunculkan kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup badak. Lokasi di dekat Gunung Krakatau yang aktif dan ancaman konflik dengan banteng yang juga tinggal di TNUK, membuat kebutuhan hadirnya habitat kedua menjadi krusial.
Koordinator Proyek Ujung Kulon WWF-Indonesia Elisabet Purastuti menjelaskan, saat ini sedang dilalukan berbagai upaya persiapan untuk memindahkan sebagian populasi badak jawa ke habitat kedua. "Saat ini, terdapat empat nominasi lokasi yang menjadi pertimbangan," ujar Elis.
Dua di antaranya, lanjut dia, berada di Sumatra dan dua lagi di Pulau Jawa, salah satunya di Cibiliung. Pulau Jawa lebih difavoritkan untuk menjadi habitat kedua mengingat besarnya risiko kematian apabila dipindahkan ke Sumatra.
Selain itu, perlu diperhatikan keberadaan pakan badak, studi kelayakan, penetapan batas areal, pengamanan wilayah, dan penerimaan sosial masyarakat di lokasi tujuan. Lewat ratusan kamera perangkap yang disebar di kawasan Ujung Kulon, tengah dipelajari pula badak mana yang tepat untuk dipindahkan ke tempat baru.
Satwa terancam punah
Dari ribuan jenis satwa yang tersebar di Indonesia, tak sedikit yang tengah berhadapan langsung dari dengan ancaman kepunahan. Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah perambahan hutan, perdagangan organ binatang, illegal logging, illegal mining, dan konversi hutan menjadi perkebunan.
Beberapa satwa yang tengah berada dalam tahap critically endangered, antara lain:
1. Orang utan
Orang utan Sumatra saat ini populasinya diperkirakan hanya tinggal 5.000 ekor. Sementara, orang utan Kalimantan 44 ribu ibu.
Dalam 20 tahun terakhir, habitat orang utan di Kalimantan mengalami penurunan sebesar 50 persen. Sedangkan, jumlah populasi orang utan mengalami penurunan sebebar 55 persen dalam 60 tahun terakhir.
2. Harimau
Saat ini, harimau sumatra menjadi jenis satwa yang berada dalam status critically endangered, setelah sebelumnya harimau jawa punah pada 1980 dan harimau bali pada 1940.
Diperkirakan, populasi harimau sumatra saat ini berkisar antara 320-400 ekor. Angka ini mengalami penurunan dari 1993 yang berkisar 500 ekor dan tahun 1978 yang masih 1.000 ekor.
3. Gajah
Jumlah populasi gajah saat ini lebih kurang 1724 ekor dengan persebaran di Kalimantan Utara 20-80, Aceh 500, Sumatra Utara 60, Riau 300, Bengkulu 240, Jambi 159, Lampung 355, dan Sumatra Selatan 100 ekor.
Jumlah kematian gajah akibat konflik dan dugaan perdagangan gading pada 2013 lalu sekitar 29 ekor. Tren kematian gajah pada 2014 diperkirakan mengalami peningkatan mengingat hingga April 2014 terdapat 15 gajah yang mati akibat konflik dengan manusia.
rep:setyanavidita livikacansera ed: a syalaby ichsan
Sumber : -Pemerintah, LSM, Forum pertemuan para ahli gajah pada 2014.
-Species meeting internal WWF, di Lampung, Februari 2014.
***
Fatwa Nomor 4 Tahun 2014
Beberapa poin penting dari fatwa ini, antara lain:
• Memperlakukan satwa langka dengan baik (ihsan), dengan jalan melindungi dan melestarikan guna menjamin keberlangsungan hidup adalah wajib hukumnya.
• Membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu, atau melakukan tindakan yang mengancam satwa adalah haram hukumnya. Kecuali, ada alasan syar’i, seperti melindungi dan menyelamatkan jiwa manusia.
• Melakukan perburuan dan/atau melakukan perdagangan ilegal satwa langka haram hukumnya.