Oleh: A Ilyas Ismail -- Sejauh penggunaanya dalam Alquran, term dakwah dipakai untuk beberapa makna, antara lain, seruan ke jalan Allah (QS Yusuf [12]: 108), panggilan (aktualisasi) iman menuju hidup mulia dan terhormat (QS al-Anfal [8]: 24), dan ajakan ke surga (Dar al-Salam) dengan mengikuti bimbingan dan petunjuk Allah (QS Yunus [10]: 25).
Penting dicatat, dalam al-Anfal 24, dakwah dikaitkan dengan "apa yang menghidupkanmu" (lima yuhyikum). Seperti diketahui, hidup adalah lawannya mati (QS al-Nahl [15]: 21). Hidup (al-hayah), menurut pakar tafsir Ibn Asyur, adalah suatu kekuatan yang dengannya manusia mampu berpikir dan bergerak (growing) menuju kesempurnaan.
Dikatakan, tanah hidup dengan tanaman dan tumbuhan. Akal hidup dengan pikiran dan pendapat yang cerdas. Melalui dakwah, manusia (menjadi) hidup dengan iman dan akidah yang benar, budi pekerti yang luhur, dan dengan laku perbuatan yang terpuji (al-a`mal al-shalihah).
Dalam ayat lain, dakwah dipahami sebgai proses transformasi sosial dan kultural menuju generasi terbaik umat. "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah (QS Ali Imran [3]: 110).
Menunjuk pada ayat di atas, dakwah pada hakikatnya adalah suatu proses pembangunan bangsa (umat) dengan menggunakan pendekatan budaya. Dengan pendekatan ini, kemajuan tidak diukur dengan pendapatan, tetapi dengan tingkat keberdayaan masyarakat di mana berbagai komunitas--sesuai dengan potensi dan keuatan yang dimliki--didorong agar tumbuh dan berkembang menuju kemajuannya.
Surah Ali Imran ayat 110 ini mengajarkan kepada kita beberapa asas pembangunan umat seperti berikut. Pertama, bahwa tujuan pembangunan adalah mencapai keunggulan umat, khaira ummah (the best umah).
Filosof Muslim al-Farabi menyebutnya dengan term al-Madinah al-Fadhilah (negara utama), yaitu masyarakat yang memiliki keunggulan secara ilmu, pemikiran, budaya, dan peradaban atau yang dalam bahasa sekarang dinamakan masyarakat yang berkeadaban (civilized society).
Kedua, pembangunan dilakukan dengan pengembangan SDM melalui dakwah dan pendidikan atau humanisasi (al-amr bi al-ma`ruf). Pendidikan tersebut tidak sama dengan persekolahan, tetapi sebuah proses meningkatkan apa yang oleh sementara pakar dinamakan "Human Capability."
Ketiga, dalam pembangunan ini, yang menjadi panglima bukan uang atau kekayaan material, melainkan moral atau akhlak bangsa (purifikasi) alias al-nahyu `an al-munkar, yaitu suatu proses membebaskan masyarakat dari kejahatan dan keburukan, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagi tindak kejahatan lainnya.
Keempat, pembangunan bangsa harus diletakkan dalam kerangka iman kepada Allah SWT atau transendensi (wa tu`minuna billah), sehingga pembangunan bangsa yang kita lakukan bermakna spiritual. Dalam konsep Alquran ini, kemajuan lagi-lagi tidak diukur dari aspek kuantitas yang melihat seberapa banyak manusia memiliki kekayaan (to have more), tetapi dari aspek kualitas yang melihat seberapa tinggi orang memiliki keluhuran (to be more).
Dakwah sebagai proses pembangunan bangsa mengedukasi masyarakat untuk berperan besar dalam proses pembangunan, sehingga lahir participatory development. Dengan dakwah, masyarakat didorong untuk mencapai visi besarnya sebagai the best umah. Wallahu a`lam.