JAKARTA — Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender. BMOIWI mewakili 33 organisasi Muslimah di seluruh Indonesia.
Presidium BMOIWI menegaskan, kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam ruang publik telah terjadi di Indonesia. Untuk itu, RUU tersebut tidak dibutuhkan. Selain itu, pembahasan diskursus kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam telah selesai sejak dahulu.
Sabriati menyatakan, beleid itu tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. "RUU itu tidak diperlukan. Sebab, kami tidak melihat adanya ketertindasan perempuan seperti yang terjadi di Barat," ujar Sabriati kepada Republika, Kamis (11/9).
Dia menganggap, dorongan RUU KKG ini berangkat dari diskurus feminisme yang lahir dari Barat. Sementara, latar belakang terlahirnya gerakan feminisme jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.
Menurutnya, Islam tidak membedakan peran laki-laki dan perempuan, terutama dalam urusan ibadah. Dalam Islam, hal yang membedakan antara umat Islam hanyalah nilai ibadahnya, bukan pada jenis kelaminnya. Aktivis Muslimat Hidayatullah ini menjelaskan, posisi perempuan sudah diatur sejak zaman Rasulullah SAW.
Selama sesuai dengan aturan yang berlaku, dia menilai, Islam memperbolehkan perempuan untuk berkiprah di ruang publik. Terutama, jika kiprah perempuan di dalam bidang dakwah kepada kebaikan.
Usai menerima BMOWI, Wakil Sekretaris Jenderal MUI Welya Safitri mengungkapkan, pengaduan tersebut akan langsung ditindaklanjuti dan dipertimbangkan untuk menentukan sikap MUI terhadap RUU KKG. Hanya, Welya mengaku belum bisa memutuskan sikap resmi MUI sebelum dirapatkan. "Kami akan rapatkan terlebih dahulu," ujar Welya Safitri kepada Republika di kantor MUI, Jakarta, Kamis (11/9).
Kendati demikian, alumnus HMI ini menyatakan kesepakatan dengan alasan penolakan BMOIWI terhadap RUU tersebut. Menurut dia, agama Islam memberikan ruang terbuka kepada laki-laki dan perempuan untuk berkiprah di ruang publik.
Menurut dia, masalah ini merupakan masalah klasik yang telah ada jawabannya dalam Islam. Dia mencontohkan istri Nabi Muhammad SAW, Khadijah, telah melakukan perdagangan hingga luar negeri. Sedangkan, Siti Aisyah pernah tercatat menjadi panglima perang. "Yang penting, dia mendapatkan izin dari suaminya. Dalam Islam, hal itu sudah cukup jelas," ujar dia. rep:C60 ed: a syalaby ichsan