JAKARTA -- Lambatnya penerbitan payung hukum pencairan dana untuk penghulu dinilai akan membuka peluang gratifikasi. Terlebih, para penghulu harus mengeluarkan ongkos terlebih dahulu untuk mencatatkan pernikahan pasangan yang menikah di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
Selang dua bulan sejak PP 48/2014 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) terkait pernikahan diterbitkan, para penghulu belum mendapat tunjangan yang dijanjikan. Padahal, hingga akhir Agustus setoran dana masyarakat yang menikah di luar KUA sudah mencapai Rp 90 miliar. Dalam beleid itu, penghulu akan mendapatkan tunjangan transportasi dan jasa profesi yang besarnya disesuaikan.
"Jelas, itu membuka peluang gratifikasi," kata Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) M Jasin melalui pesan Blackberry Messenger kepada Republika, Rabu (24/9). Jasin menjelaskan, cairnya tunjangan penghulu bergantung rampungnya petunjuk pelaksanaan (juklak) yang disusun Kemenag.
Tanpa juklak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak mungkin menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk pencairan. "Dirjen Anggaran dari awal menyusun PP itu sudah mengingatkan, bila juklak sudah siap maka PNBP cair dari Kementerian Keuangan," paparnya.
Ia pun berjanji untuk mendorong Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag beserta jajarannya segera merampungkan juklak tersebut. Menurutnya, adanya juklak yang berisi standar operasional pencairan justru untuk mencegah peluang korupsi di Kemenag saat dana dicairkan.
Pencairan dana untuk penghulu yang terlalu lama dituding menimbulkan permasalah baru. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menjelaskan, usai penerbitan PP dan Peraturan Menteri Agama (PMA) 24/2014, nasib penghulu malah tak jelas. Penghulu harus tekor karena menalangi biaya transportasi yang sebenarnya diambil dari setoran calon pengantin.
Seharusnya, pemerintah telah memperhitungkan secara matang dengan perencanaan yang baik. "Jangan sampai, gara-gara (pencairan) ini orang berpikir kembali ‘terpaksa’ melakukan gratifikasi," ujarnya. Jika dibiarkan terlalu lama, bukan tidak mungkin praktik pungutan liar (pungli) dan gratifikasi akan kembali merebak di masyarakat. Hal ini justru bertolak belakang dengan semangat menghilangkan korupsi dalam pernikahan yang terwujud dalam PP dan PMA.
Pemerintah sebelumnya mengundang perwakilan para penghulu yang tergabung dalam Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI), Selasa (23/9). Kemenag menjelaskan langsung soal teknis pencairan PNBP sekaligus berdiskusi soal besaran nilai tunjangan, teknis pencairan sebagai juklak peraturan Direktorat Jenderal Bimas Islam.
Ketua Umum APRI Wagimun AR mengungkapkan, para penghulu di daerah sudah terlalu lama menunggu. Mereka pun telah banyak menalangi uang ongkos pernikahan sampai jutaan rupiah sembari mengharap tunjangan jasa dan transportasi penghulu segera cair. Wagimun khawatir, jika penundaan pencairan dibiarkan terlalu lama maka akan menimbulkan masalah baru di kalangan penghulu.
Dia mencontohkan, para penghulu melakukan demonstrasi besar-besaran ataupun memutuskan untuk mengambil uang gratifikasi dari masyarakat karena tak kunjung dapat kejelasan pencairan tunjangan. "Dua sampai tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar, ongkos yang dikeluarkan penghulu sudah banyak," tambahnya.
Direktur Urais Mukhtar Ali mengungkapkan, hasil diskusi dengan perwakilan penghulu akan dimasukkan dalam pembahasan dengan staf Menteri Keuangan pada pekan ini. Meski demikian, Mukhtar tak dapat memastikan kapan juklak untuk pencairan PNBP selesai sehingga dana penghulu dapat cair. "Ini kan uang negara, jadi harus ada payung hukum yang jelas," tuturnya.
rep:c78/mas alamil huda ed: a syalaby ichsan