JAKARTA — Belum turunnya tunjangan pengganti biaya operasional penghulu untuk transportasi dan jasa profesi membuat banyak penghulu terpaksa berutang. Para penghulu yang bertugas di daerah terpencil harus meminjam uang untuk menutupi ongkos perjalanan saat menikahkan pasangan di luar kantor. "Teman di daerah sudah pada kebingungan, sudah ada yang utang sana sini," kata Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun AW kepada Republika saat dihubungi, Ahad (5/10).
Sejak PP 48/2014 disahkan, ujarnya, penghulu berkomitmen untuk tidak lagi menerima uang dari masyarakat karena takut dituduh menerima gratifikasi. Sebagai gantinya, mereka dijanjikan akan mendapat honor atas jasa profesi dan transportasi yang sudah dikeluarkan saat melayani pernikahan. Hanya, honor tak kunjung cair karena regulasi soal pencairan PNBP itu belum disahkan.
Wagimun tidak menyebutkan berapa rata-rata besarnya utang yang dialami para penghulu daerah. Ia hanya mengungkapkan, kondisi perekonomian menyebabkan banyak penghulu merosot usai beleid tersebut diberlakukan. Menurutnya, banyak penghulu di daerah yang berutang hingga jutaan rupiah. Sedangkan, biaya operasional KUA tidak mampu menutupi pembiayaan mereka ketika akan bertugas ke pelosok.
Ia mengatakan, uang operasional KUA turun setiap bulan sebesar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Namun, uang tersebut habis untuk biaya listrik, air, internet, dan operasional lainnya untuk kebutuhan kantor. Wagimun pun berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan prosedur pencairan agar penghulu tenang dalam melaksanakan profesinya.
Ia mengaku, APRI berencana kembali menghadap ke Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan pada 21-22 Oktober mendatang. Mereka akan mempertanyakan tunjangan yang belum cair tersebut.
Janji Kemenag
Kementerian Agama (Kemenag) menjanjikan pencairan dana pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk membayar tunjangan penghulu segera cair. Dana yang sudah mencapai Rp 120 miliar tersebut diharapkan keluar bersamaan dengan turunnya persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada pekan ini.
"Kita sudah rapat, intinya sekarang tinggal turun SK persetujuan dari Kemenkeu dan PMA-nya kita perbaiki, minggu depan diharapkan keluar surat persetujuannya," kata Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama (Kemenag) Muchtar Ali kepada Republika pada Ahad (5/10).
Ia menjelaskan, Kemenag melalui Ditjen Bimas Islam telah mengajukan Perditjen untuk mengatur soal teknis pencairan dan besaran dana yang akan dicairkan. Keputusan tersebut, ia mengungkapkan, harus melewati pembahasan dengan Kemenkeu untuk disetujui. Selama pembahasan, Muchtar melanjutkan, tidak ada pernyataan ketidaksetujuan dari pihak Kemenkeu. Selama ini, mereka bahkan bersikap kooperatif dan akomodatif dalam merespons pengajuan dari Kemenag.
Dari pertemuan tersebut, Kemenkeu menanyakan soal standar biaya yang akan dipakai dan potensi double accounting tunjangan penghulu. "Tapi semua sudah selesai karena kita menggunakan standar biaya khusus dan tidak ada double accounting karena yang dibayarkan kepada penghulu dari PNBP itu adalah honor," ujarnya.
Sikap Kemenkeu, ia menyatakan, untuk menjaga kehati-hatian dan menjaga proses pencairan dapat dilakukan secara adil kepada semua penghulu. Muchtar berharap prosedur pencairan akan berlangsung sebelum terjadi pergantian kepemimpinan dengan kabinet yang baru. Namun ia tidak mau berandai-andai jika saja pencairan belum selesai sebelum kabinet berganti.
"Yang jelas kita akan berusaha sebaik mungkin," katanya. Selain itu, Sekretaris Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin menyebut, berlarut-larutnya pengesahan izin pencairan dana tunjangan penghulu disebabkan proses pembuatan regulasi yang tidak mudah. Alasannya, peraturan pencairan dengan model semacam ini baru pertama kalinya terjadi di instansi pemerintahan dan belum ada contoh serupa sebelumnya.
"Bukan soal memperdebatkan besarannya, tapi regulasi pencairannya, Kemenkeu sangat hati-hati membuat regulasi baru ini, tidak mudah membuat SK dana khusus yang memang sifatnya baru," ujarnya. Sampai berita ini diturunkan, Republika belum dapat memperoleh keterangan yang jelas dari Kemenkeu. rep:c78 ed: a syalaby ichsan