Demi dapat menunaikan agama mereka dengan leluasa, sebagian masyarakat Muslim Uighur dari Xinjiang, Cina, memilih hengkang ke negeri tetangga, Kazakstan. Negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini dinilai dapat mengayomi keberadaan umat Islam, termasuk Muslim yang datang dari Xinjiang.
"Muslim Uighur ingin menjalankan agama mereka secara leluasa," kata Knanat Ali, imam Masjid Kubah Biru, Almaty, Kazakstan, seperti dilansir Onislam.net, belum lama ini.
Bukan rahasia lagi Muslim Uighur merasa tidak nyaman, bahkan tertindas di kampung halaman sendiri. Mereka ditekan habis-habisan oleh Pemerintah Cina. ''Saat Ramadhan, kami melihat begitu banyak orang Uighur berdatangan kemari (Almaty). Mereka ingin dapat beribadah dan berpuasa dengan tenang, serta menimba ilmu keislaman lebih banyak,'' ujar Ali.
Di Xinjiang, Cina Barat Laut, Muslim Uighur merupakan kelompok minoritas. Di wilayah otonomi ini, sebanyak delapan juta Muslim Uighur sehari-hari menggunakan bahasa Turki. Namun, mereka tidak hidup dengan nyaman. Berbagai macam tekanan dan diskriminasi mereka rasakan. Mereka dilarang mengenakan jilbab, memelihara janggut, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.
Sebagai penganut agama Islam yang taat, tentu saja semua bentuk penindasan itu membuat mereka tersiksa. Maka, mereka pun rela menempuh perjalanan jauh hingga 380 km agar sampai ke negeri yang memungkinkan mereka beribadah dengan tenang, yakni Kazakstan. Gayung bersambut, warga Kazakstan pun menyambut hangat kedatangan saudara-saudara seiman mereka dari Xinjiang.
"Muslim Uighur mendapat hak dan tempat yang sama dengan kelompok dan etnis lainnya di Kazakstan, di sini mereka tidak dibatasi," kata pengamat dari Lembaga Penelitian Kazakstan, Syaroezhkin.
Menurutnya, terdapat 260 ribu Muslim Uighur yang tinggal di negara ini dan membaur dengan masyarakat setempat. ''Kazakstan tidak mendukung adanya kebijakan penindasan dan diskriminasi etnis," ujarnya.
Muslim Uighur yang tinggal di Almaty, kota terbesar di Kazakstan, hidup rukun, kompak, dan senantiasa menjaga tali persaudaraan. Mereka pun menjalin hubungan baik dengan warga setempat. Untuk menopang hidup, tak sedikit Muslim Uighur yang berbisnis di Kazakstan, seperti membuka kafe, restoran, dan lainnya. Bahkan, mereka pun membangun masjid.
Terdorong semangat untuk membantu saudara seiman yang sedang ditimpa kesusahan, warga Almaty tak segan menggalang bantuan dan dukungan untuk Muslim Uighur. Dukungan itu mengalir deras, terutama sejak pecahnya kerusuhan di Xinjiang pada 2009.
"Sejak kerusuhan di Xinjiang pada 2009, banyak Muslim Uighur yang beribadah di sini. Mereka menangis karena tidak memiliki saudara lagi di Xinjiang," kata petugas salah satu masjid di Almaty, Bibi Sonya. ''Kami tidak tahu siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab atas konflik itu. Kami hanya merasa bahwa semua warga Uighur merupakan keluarga."
Kini, sekitar 1,5 persen penduduk Almaty merupakan umat Islam beretnis Uighur dari Xinjiang. "Uighur adalah saudara kami dan kami peduli dengan apa yang terjadi di Xinjiang. Di sana terjadi kekerasan karena Pemerintah Cina menindas mereka dengan alasan agama," ujar pengamat hak minoritas internasional, Ali. c03 ed: Wachidah Handasah