Kamis 05 Feb 2015 16:42 WIB

Dosa Sosial

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Islam, setiap perbuatan seorang Muslim yang didasari pada iman dan tuntunan syariat disebut amal saleh. Amal saleh (ibadah) ada dua macam, yaitu individual (ritual, vertikal kepada Khalik) dan sosial (keumatan, horizontal kepada manusia), baik yang hukumnya wajib maupun sunah. Kedua-duanya tak bisa dipisahkan dan mesti berjalan seimbang (tawazun). Sejatinya, ibadah ritual (mahdhoh) mengandung nilai sosial.

Dengan begitu, semakin baik kualitas ibadah ritual seseorang, semakin tinggi pula keharmonisan sosial di tengah umat. 

Iman adalah keyakinan yang kuat dalam hati sebagai pondasi (akar) yang menyerap sari pati tanah dan menguatkan pohon keislaman. Iman atau akidah yang lurus (tauhid) akan tampak pada sikap dan perilaku keseharian. Iman pula yang menjadi landasan amal saleh.

Tak disebut amal saleh tanpa didasari iman. Oleh karenanya, bertebaran ayat yang menyebutkan iman dan amal saleh secara beriringan (QS an-Nahl [16]: 97, al-Ankabut [29]: 9, Lukman [31]: 8, dan al- Buruj [85]: 11). Islam memberikan tekanan yang kuat pada amal sosial sebagai refleksi iman. Artinya, keislaman seseorang dinilai baik jika ia mampu menebar kebajikan dan kemanfaatan di tengah masyarakat.

Setiap orang berpeluang untuk beramal dan berdosa, baik ritual maupun sosial. Namun, peluang melakukan dosa sosial lebih besar bagi mereka yang memikul amanah kepemimpinan. Kedudukan atau jabatan selalu cenderung menindas (sombong), korupsi, dan mengambil hak orang lain. Ketika seorang pemimpin mampu menunaikan amanah kepada rakyat, jalan ke surga terhampar. Namun sebaliknya, jika ia berkhianat, korupsi, menghina, dan menzalimi, jalan ke neraka pun terbuka lebar. Walaupun ia bebas dari hukuman dunia, tidak akan terlepas dari Pengadilan Qadhi Robbul Jalil di akhirat. Amal saleh ritual yang dilakukannya pun akan terkuras habis untuk menutupi keburukannya.

Muhammad al-Gazali dalam bukunya, Akhlak Seorang Muslim, menceritakan bahwa suatu ketika Nabi SAW bertanya kepada sahabatnya. “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut (muflis)?” Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut (pailit) itu adalah orang yang tidak punya uang dan harta.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa shalat, puasa, dan zakat. Namun, ia juga mencaci maki, menuduh, memakan harta, mencederai, dan memukul (menyiksa) orang lain. Maka orang yang itu (yang dizalimi) akan menerima ganti rugi dari kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikannya telah habis sebelum selesai memenuhi tuntutan orang-orang yang pernah dizaliminya maka diambillah kesalahan-kesalahan orang tersebut, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka”. (HR Muslim).

Amal sosial akan mengalir sepanjang masa. Ibadah ritual akan berakhir dengan kematian. Tetapi amal sosial akan terus mengucurkan pahala abadi meski kita sudah tiada. Nabi SAW mengingatkan, “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara” sedekah jariyah (wakaf) atau ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Selain itu, Allah SWT memberikan kesempatan hidup untuk melakukan amal kebajikan  yang paling baik (ahsanu ‘amala) untuk meraih kebahagiaan hidup ini (QS al-Kahfi [18]: 7, al-Mulk [67]: 2).   

Kesalehan ritual harus berbuah pada kesalehan sosial. Ibadah ritual yang rusak masih dapat ditutupi (diganti) dengan ibadah sosial, misalnya seorang tidak mampu puasa, bisa bayar fidyah untuk orang miskin. Tetapi, jika amal sosial yang cacat, ia tidak dapat dibayar dengan ibadah ritual. Durhaka kepada orang tua tidak bisa dibayar dengan Tahajud atau umrah. Korupsi tidak bisa dibayar dengan haji atau membaca Alquran. Jangan sampai kita termasuk orang bangkrut karena pahala terkuras untuk menutupi dosa sosial. Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh Hasan Basri Tanjung

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement