REPUBLIKA.CO.ID,
Sering digambarkan sebagai miniatur padang Mahsyar, tempat dikumpulkannya manusia setelah dibangkitkan dari kubur kelak. Ya, itulah Arafah. Dalam semangat wukuf, Arafah menjadi lokasi berkumpulnya semua umat muslim untuk menunaikan rukun haji. Dalam keadaan yang sama, tanpa pembeda kaya atau miskin, pintar atau bodoh, pejabat atau rakyat biasa. Seolah mereka berada di Padang Mahsyar, dimana pembeda satu dengan yang lainnya di mata Tuhan adalah iman dan takwa.
Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini manusia singgah sebentar (wukuf). Lalu bermalam (mabit) di Muzdalifah dan tinggal di Mina. Arafah berarti pengetahuan dan Mina artinya cinta. Dengan menjalankan prosesi tersebut, para jamaah haji sedunia seolah kembali memperdalam makna dari pengetahuan cinta terhadap Allah SWT sang pencipta alam semesta. Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit.
Wukuf dilaksanakan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Keduanya melambangkan hubungan objektif ide-ide, dengan fakta yang ada dari tahap kesadaran diri memperbanyak konsentrasi beribadah di keheningan. Demikianlah ritualitas haji yang penuh simbol perjuangan hidup manusia.
Dengan menjalaninya, para jamaah haji dapat memaknai simbol-simbol tersebut dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya hijrah yang menjadi proses simbolisasi perubahan menjadi yang lebih baik. Para jamaah haji telah menunaikan dan membawa kobaran semangat wukuf dalam rukun haji.
Terus berproses menghadirkan peribadahan terbaik kepada Allah SWT dalam keseharian, menjadi resolusi dari aplikasi semangat yang sama ketika menjalankan wukuf. Rutin menunaikan ibadah wajib dan menambahnya dengan sunah, serta amal kebaikan tentu akan lebih bermakna dari proses berhijrah seseorang dalam semangat berwukuf di keseharian.
Menunaikan ibadah kurban pada Hari Raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik sesudahnya menjadi salah satu jalan menambah amalan kebaikan seseorang. Dalam gempita takbir dari seluruh penjuru dunia menjadi pertanda semangat berkurban hadir mengiringi seruan tersebut. Terlebih jika kurban-kurban tersebut tersaji luas dan merata hingga pelosok.
Melalui pemerataan sebaran hewan kurban tersebut juga menjadi simbolisasi perubahan budaya yang ada menuju ke arah yang lebih baik. Yaitu perubahan pemerataan daging kurban yang dahulu hanya menumpuk di perkotaan saja. Namun kini sampai kepada saudara-saudara sesama di pelosok negeri. Sehingga mereka pun tersenyum, karena kini lengkap sudah kebahagiaan Idul Adha mereka.
Seperti halnya 1.340 warga muslim di Desa Adonara, kelimpahan berkah kebahagiaan daging kurban dari program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa 2015. Di tanah gersang ini, mereka yang mayo ritas bermata pencaharian musiman sebagai nelayan dan petani, dapat tumbuh bersama mencicipi berkah daging kurban, buah berprosesnya budaya penyaluran hewan kurban.
Amalan terbaik di Idul Adha telah mewujudkan mimpi mereka menikmati daging kurban. Di hari tasyrik ini menjadi detik terakhir Anda semua menebar kebaikan melalui daging kurban. Mari kobarkan semangat wukuf untuk berhijrah dan selamat Hari Raya Idul Adha.