JAKARTA — Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Abdul Djamil mengatakan, manasik haji pada prinsipnya harus diselenggarakan secara merata di seluruh Indonesia dengan materi yang sudah distandardisasi dan pembimbing yang sudah disertifikasi.
Jika manasik haji dioptimalkan oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), menurut Abdul Djamil, maka akan ada daerah yang para calon jamaah hajinya kesulitan memperoleh bimbingan manasik. Hal ini karena keberadaan KBIH yang tidak merata di seluruh Indonesia.
"Yang merata seluruh wilayah itu KUA (Kantor Urusan Agama). KBIH kan sudah ada pola bimbingan sendiri dan distribusi tidak merata," ujar dia saat ditemui di kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (5/1).
Ia menjelaskan, saat ini KUA yang berada di daerah pelosok justru meminta agar waktu pelaksanaan manasik haji ditambah. KUA menilai, jumlah manasik yang diberikan kepada para calhaj saat ini masih kurang. Padahal, hanya KUA yang mampu menjangkau seluruh calhaj karena keberadaanya yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air.
Untuk itu, lanjut Abdul Djamil, Kemenag mengusulkan agar manasik haji di tingkat kecamatan ditingkatkan. Usulan peningkatan ini akan disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Namun, rencananya, manasik akan kembali ke jumlah awal, yakni sebanyak 10 kali.
Ia melanjutkan, jika waktu pelaksanaan manasik haji ditambah, artinya akan ada penambahan materi. Dari berbagai diskusi yang dilakukan sejumlah pihak, perlu ada penambahan materi manasik dari aspek-aspek nonfikih atau materi yang berkaitan dengan nilai-nilai filosofi di balik ibadah haji. Harapannya, ibadah haji tidak dimaknai hanya sekadar untuk menggugurkan sebuah kewajiban, tetapi juga harus dimaknai sebagai transformasi perilaku.
"Orang kalau sudah berhaji diharapkan perilakunya menjadi lebih baik. Dan itu, menurut saya, sangat signifikan bagi upaya untuk meningkatkan kualitas akhlak bangsa," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay meminta agar porsi manasik haji yang diberikan Kemenag dikurangi. Sebaliknya, porsi manasik dari KBIH ditambah. "Beberapa kali manasik haji yang kami lihat di daerah-daerah tidak dihadiri oleh calhaj," katanya, Senin (4/1).
Ia melihat, para calhaj lebih memanfaatkan KBIH untuk menimba ilmu mengenai tata cara beribadah haji (manasik). Karena itu, ia menyarankan agar KBIH diberikan kesempatan yang lebih besar dalam menyampaikan materi manasik haji. Harapannya, manasik kepada para calhaj lebih optimal.
Ia menilai, manasik yang diberikan Kemenag selama ini kurang mendalam jika dibandingkan dengan manasik yang diberikan KBIH. Karena itu, menurutnya, KBIH perlu diberikan porsi khusus dalam melakukan pembinaan manasik dan pendampingan kepada calhaj selama di Tanah Suci.
Dalam pandangan Pimpinan KBIH Mulya Rahma, Jakarta Timur, Lutfie, manasik haji seharusnya memang dilakukan oleh KBIH. Hal ini karena KBIH berisikan orang-orang yang memang mengabdikan diri untuk melayani kepentingan jamaah haji.
"Sedangkan, orang Kementerian Agama apa iya semuanya paham terkait ibadah haji. Haji itu kan perjalanan, perbuatan, bukan teori," ujar Lutfie kepada Republika, Selasa (5/1).
Ia mengakui, keberadaan KBIH yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, aturan terkait manasik tidak perlu dimutlakkan. Bagi wilayah yang belum memiliki KBIH maka proses manasik masih dapat dilakukan di KUA.
Tetapi, jika di wilayah tersebut sudah terdapat KBIH, menurut Lutfie, maka proses manasik dapat dioptimalkan oleh KBIH dan Kemenag tidak perlu mengadakan lagi. "Ini disebabkan pada prinsipnya orang yang tahu kondisi lapangan dan memahami mindset (pola pikir) orang Makkah dan Madinah adalah orang KBIH." n ed: wachidah handasah