JAKARTA--Penetapan dan pengangkatan rektor perguruan tinggi keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah akan dilakukan oleh menteri agama (menag), bukan lagi melalui pemungutan suara (voting) senat universitas. Ketentuan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015.
"Jadi, senat tidak lagi memilih secara voting, tapi senat hanya memberi pertimbangan kualitatif. Pertimbangan kualitatif itu hanya menjelaskan tentang kandidat. Bagaimana kualitasnya, integritasnya, kompetensinya, leadership-nya, networking-nya, dan lain-lain," ujar Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin kepada Republika, Rabu (6/1).
Ia menjelaskan, setelah senat memberikan penilaian kualitatif kepada calon rektor, selanjutnya nama-nama tersebut diserahkan kepada menag. Menteri akan membentuk tim seleksi yang terdiri atas unsur perguruan tinggi, profesional, dan Kemenag. Tim inilah yang akan menyeleksi calon-calon rektor yang diusulkan senat hingga menghasilkan tiga nama. Lalu, nama-nama tersebut diserahkan ke menag untuk ditetapkan.
Perubahan mekanisme penetapan rektor ini, lanjut Kamaruddin, dilakukan untuk menghilangkan politisasi di lingkungan kampus. Menurutnya, mekanisme pemilihan rektor yang berlaku selama ini sarat dengan suasana politis sehingga menimbulkan situasi yang tidak kondusif.
Selama ini, katanya, setiap calon rektor akan berusaha mendekati senat. Keberadaan tim sukses juga menimbulkan keterbelahan di lingkungan kampus. Dan, ketika seorang calon rektor memenangi pemilihan, ia cenderung memilih orang-orang yang mendukungnya saja untuk menduduki posisi struktural di lingkungan kampus. Akibatnya, legitimasi menjadi terbatas dan suasana politis begitu kental.
"Ini terbukti secara empiris. Seluruh Indonesia seperti ini," ujar Kamaruddin.
Melalui mekanisme penetapan rektor yang baru ini, diharapkan siapa pun rektor yang terpilih tidak tersandera oleh kepentingan apa pun di lingkungan kampus. Ia membantah jika sistem penetapan rektor oleh menteri akan menghilangkan demokrasi di lingkungan kampus.
Ia yakin, demokrasi akan tetap ada karena senat juga memberikan pertimbangan kualitatif. Keterlibatan tim seleksi, menurutnya, juga merupakan bagian dari demokrasi.
Sistem penetapan rektor yang baru ini akan mulai diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Raden Fatah Palembang, dan STAIN Curup, Bengkulu.
Perlu dikaji ulang
Tak sependapat dengan Kemenag, DPR justru meminta agar rencana penerapan mekanisme baru pemilihan rektor PTI dikaji ulang. Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay menilai, penetapan rektor PTI oleh menag justru akan mematikan budaya demokrasi di kampus.
"Masyarakat awam dipercaya untuk berdemokrasi lewat pileg, pilpres, dan pilkada. Sementara, para guru besar yang mengajarkan demokrasi dianggap tidak mampu berdemokrasi. Apalagi, alasan Kemenag adalah pemilihan rektor oleh senat sering sekali menimbulkan perpecahan di kampus," ujar Saleh.
Ia menjelaskan, walau terdapat tim seleksi, pemilihan rektor oleh menag justru dikhawatirkan akan menimbulkan politisasi. Dikhawatirkan, hanya orang-orang yang dekat dengan menteri yang akan dipilih. Selain itu, lanjut Saleh, karena menag berasal dari partai politik, patut dikhawatirkan akan memprioritaskan calon rektor yang sejalan dengan partainya.
Berdasarkan penelusuran Komisi VIII DPR saat kunjungan kerja beberapa waktu lalu, kata Saleh, banyak rektor dan profesor aktif yang tidak setuju dengan PMA ini. ''Ini artinya, mereka lebih senang pemilihan rektor tetap otonom melalui senat di kampus.''
Pengamat pendidikan Islam, Didin Hafidhuddin, mengaku tidak mempermasalahkan mekanisme pemilihan rektor yang baru ini. ''Saya sih kalau memang ada PMA, silakan saja. Tetapi, harus jaga betul suasana kampus," ujar guru besar dari Institut Pertanian Bogor ini.
Melalui PMA ini, lanjut Didin, menag akan memilih rektor berdasarkan usulan atau masukan dari senat. Sebab, senatlah yang mengetahui hal terbaik untuk kampusnya. Mantan ketua umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini berharap, usulan dari senat orientasinya bukan politik atau partai, melainkan kemampuan akademis dan kemampuan memimpin dari calon rektor. Bagi Didin, lingkungan kampus harus terbebas dari segala kepentingan politik. n ed: wachidah handasah