DEPOK — Islam memiliki banyak literatur hasil karya para ilmuwan Muslim. Beragam ilmu pengetahuan termuat di dalamnya. Sayangnya, banyak dari literatur itu belum diterjemahkan dan dipublikasikan.
"Karya ilmuwan Muslim yang masih dalam bentuk tulisan tangan seharusnya dicetak ulang dalam edisi modern, diterjemahkan, serta dikupas isinya sehingga orang bisa memahami dan mengapresiasi karya itu," ujar Prof Paul Lettinck, pakar sains Islam asal Belanda, seusai memberikan kuliah umum tentang sains Islam yang diselenggarakan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists), di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (12/1).
Ia menjelaskan, saat ini banyak lembaga pendidikan di dunia secara khusus meneliti sejarah sains Islam yang terdapat dalam manuskrip atau naskah tulisan tangan. Penelitian itu, kata Lettinck, antara lain dilakukan oleh universitas di Spanyol, Jerman, dan Amerika Serikat. Di sana, karya-karya ilmuwan Muslim dianalisis, dicetak ulang, dan diterbitkan kembali ke dalam bahasa terjemahan seperti bahasa Inggris.
Sejauh ini, ia belum melihat penelitian seperti itu di Indonesia. Namun, jika memang ada, hal itu akan sangat bagus bagi perkembangan sains Islam. Sebab, kata dia, masih banyak sekali karya ilmuwan Muslim dalam bentuk manuskrip yang tersebar dan tersimpan di berbagai perpustakaan di seluruh dunia, baik perpustakaan universitas, lembaga swasta, maupun pribadi.
Jika ilmuwan Indonesia ingin kontribusi dalam pengembangan sains Islam, Lettinck mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami bahasa Arab. Bahasa Yunani kuno dan Latin juga diperlukan untuk meneliti karya-karya ilmuwan Muslim, melacak sumber-sumbernya, dan membandingkannya dengan karya ilmiah yang ditulis sebelumnya seperti karya yang ditulis dalam bahasa Yunani.
"Dengan demikian, para ilmuwan Indonesia dapat ikut membantu menganalisis manuskrip tersebut, mencetak ulang, dan menerbitkannya sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mempelajarinya."
Lettinck adalah mantan guru besar sejarah dan filsafat sains Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization (Istac), Kuala Lumpur, Malaysia. Ia meraih gelar doktor dalam bidang fisika nuklir dan doktor kedua dalam bidang semitik dari Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. Lettinck dikenal kepakarannya dalam kajian filsafat dan sains klasik dalam kitab-kitab klasik karya para ulama dan ilmuwan Muslim. Ia menguasai berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, Yunani, dan Latin.
Direktur Ekskekutif Insists Syamsuddin Arif mengatakan, kuliah umum ini diselenggarakan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang makna dari sains Islam. "Juga untuk memotivasi mahasiswa, dosen, peneliti agar tertarik mengkaji, meneliti, dan mempelajari secara serius tentang sains Islam karena kita ini mayoritas Muslim," katanya.
Ia menjelaskan, secara umum akademisi Indonesia mempelajari ilmu pengetahuan dan mengamalkan ajaran agama. Namun, belum ada pemahaman dari akademisi agar agama menjadi relevan dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan juga memiliki keterkaitan dengan kehidupan kita sebagai Muslim.
"Hal itu kadang masyarakat masih belum jelas. Itu kita harapkan supaya ada pencerahan di situ," katanya.
Dengan adanya kuliah umum ini diharapkan akan ada program studi (prodi) sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan di perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sejauh ini, kata Syamsuddin, mata kuliah filsafat ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia masih membawa perspektif modern dan sekuler, tidak ada perspektif seorang Muslim.
"Dengan adanya prodi ini di Indonesia maka akan ada pebedaan perspektif antara Eropa dan Indonesia dalam memandang sejarah dan sains Islam." n ed: wachidah handasah