REPUBLIKA.CO.ID,
Daun semanggi menjadi pecel hanya ada di Surabaya.
Tak hanya rawon dan lontong balap.
Surabaya punya pecel semanggi.
Meski di luar sana makanan terse - but jarang terdengar, di Kota Pahlawan, pecel semanggi memiliki peng - gemar fanatik.
\"Pecel semanggi\" atau biasa disebut \"semanggi\" saja adalah makanan tradisional berbahan dasar sayuran. Berbeda dengan pecel pada umumnya, sayuran yang digunakan adalah semanggi (Marsilea crenata), yakni jenis tanaman paku yang biasa tumbuh di sawah dan rawa-rawa.
Keunikan yang lain, pecel semanggi disajikan dengan saus ubi madu, bukan saus kacang seperti pecel lainnya. Ketika dihidangkan, pecel semanggi selalu disertai kerupuk puli, yaitu kerupuk berbahan dasar tepung beras. Kesan tradisional sangat terasa karena pecel semanggi dijajakan menggunakan pincuk atau mangkuk daun pisang.
Penasaran dengan makanan yang satu ini, Ahad (3/1), Republikamencicipi sendiri pecel semanggi di kompleks Masjid Al-Akbar Surabaya.
Di kawasan itu lapak pecel semanggi Kunanti (52 tahun) adalah yang paling tersohor.
Sebuah romantisisme Racikan pecel semanggi Kunanti terbilang sederhana. Selain daun semanggi, sayuran lain yang ditambahkan hanyalah sedikit tauge.
Tingkat rasa pedas sambal ubi disesuaikan dengan selera pembeli.
Untuk menambah rasa gurih, ditambahkan sedikit sambal petis khas Jawa Timur yang berbahan dasar udang.
Hmmm... daun semanggi yang telah diku kus ini rasanya lembut sekaligus bertekstur. Ketika masuk ke mulut, rasa segar semanggi bercampur saus ubi yang pedas, manis, plus gurih. Dua lembar kerupuk puli yang re nyah melengkapi nikmatnya pecel semang gi.
Kekhasan pecel semanggi tidak hanya soal rasa. Cerita di balik hidang an tersebut juga membuatnya mele genda di kalangan warga Surabaya. Dahulu, ketika di Surabaya masih banyak sawah, warga biasa mencari daun se manggi untuk dibuat pecel atau la lapan.
Nah, setelah tak banyak lagi sawah di Surabaya, kini semanggi dibudidayakan khusus oleh warga di Kecamatan Benowo, kawasan pinggiran Surabaya bagian barat. Karena tidak dijual di pasar umum, semanggi hanya bisa didapat langsung dari petaninya atau dari penjaja pecel semanggi.
Tak heran, banyak golongan sepuh dari Surabaya dan sekitarnya yang merasa punya ikatan batin dengan kuliner semanggi. Jajan pecel semanggi menjadi ajang romantisisme mengenang masa kanak-kanak atau zaman remaja.
Memanfaatkan momentum libur akhir tahun, Nikmah (53), warga kecamatan Waru, Sidoarjo, sengaja memboyong keluarga besarnya untuk jajan pecel semanggi.
\"Saya dari kecil suka makan semanggi. Kalau dulu suka ngambildi sawah, terus makannya sama sambal terasi atau sambal tomat. Sekarang, minimal sepekan sekali harus jajan pecel semanggi ini,\" kata dia sambil menyantap pecel semanggi.
Pembeli lain, Tri (31), bercerita, ia mengge mari pecel semanggi sejak kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang berlokasi tak jauh dari Masjid Al-Akbar. Ketika kuliah dulu, menu rut Tri, ia dan kawan- kawannya biasa ber olahraga di sekitar Masjid Al- Akbar. Saat itu, kata dia, pecel semanggi adalah menu wajib sehabis berolahraga.
Setelah menetap dan berkeluarga di Sura - baya, perempuan asli Nganjuk tersebut menerus - kan hobinya jajan pecel semanggi. Memanfaatkan momen liburan, Tri juga membawa keluarga besarnya, termasuk ayah dan ibunya yang sedang berkunjung ke Surabaya.
Menurut Tri, pecel semanggi rasanya unik dan berbeda dari pecel yang lainnya. Keunikan, menurut dia, juga terletak pada suasananya, yakni di pelataran terbuka, tempat orang berso - sialisasi. \"Saya pernah nyobayang dijual di mal, tapi rasanya beda. Dan, suasananya juga jelas beda,\" kata ibu satu anak itu.
Fanatik rasa Kunati, si penjual pecel semanggi mencerita kan, para pedagang yang biasa menjajakan pecel semanggi di Surabaya hampir seluruhnya adalah warga Kecamatan Benowo, khususnya Kampung Kendung Rejo, Kelurahan Sememi.
Sebagian pedagang, menurut dia, memiliki kebun semanggi sendiri. Sementara, yang lainnya membeli dari petani semanggi. Menurut dia, kini ada lebih dari seratus ibu di kampungnya, Kendung Rejo, yang sehari-hari berjualan pecel Semanggi di sudut-sudut kota dan perkampungan-perkampungan di Surabaya.
Kunati yang berjualan bersama suaminya mengaku, pada akhir pekan ia menghabiskan 15 kilogram daun semanggi dan 15 kilogram ubi.
Sementara, pada hari-hari biasa, kata dia, mereka hanya bisa menjual sepertiganya.
Suami Kunati, Seno (54), bercerita, ia sudah menemani istrinya berjualan sejak 1986. Wak tu itu, menurut lelaki tersebut, pedagang pe cel semanggi tidak sebanyak sekarang. Dari cerita Seno, memang tidak mengherankan jika banyak warga yang tertarik berjualan pecel semanggi.
Dengan menjual pecel semanggi seharga Rp 7.000 per porsi, menurut Seno, dalam seha ri pada akhir pekan, mereka bisa mangantongi Rp 3,4 juta. Seno mengaku, ia bukan tidak mau menjajakan dagangannya di warung makan dengan tempat yang lebih nyaman.
Oleh petugas kecamatan setempat, kata dia, mereka pernah ditempatkan di pujasera di depan Masjid Al-Akbar. Meski tak jauh dari tempatnya berjualan semula, ia mengaku, heran karena pelanggannya enggan datang ke tempatnya.
Akhirnya, Seno dan istri pun memaksa untuk tetap berjualan di luar.
Menurut Seno, penggemar pecel semanggi terbilang fanatis. Mereka tidak bisa menerima perubahan soal rasa. \"Pernah kami ganti, ubinya bukan ubi madu, tapi ubi biasa, mereka ngeluh.
Pernah juga kerupuk puli habis, kami ganti ke ru puk yang ada di pasar, mereka ngeluh.\"
(ed:nina chairani)
Untuk menambah rasa gurih, ditambahkan sambal petis khas Jawa Timur yang berbahan dasar udang.