Menyebarkan kebaikan dan manfaat seyogianya menjadi tujuan hidup setiap orang. Kenyataannya, tak semua orang tergerak menjadi inisiator kegiatan positif. Mereka bahkan berat langkah untuk bergabung dalam gerakan perubahan tersebut.
Di tengah ketidakpedulian dan apatisme sebagian masyarakat, masih ada segelintir orang yang aktif mengajak sesamanya untuk peduli sekitar. Aktivis, Fahira Fahmi Idris, misalnya. Kiprahnya sebagai pengusaha tidak membuatnya alpa kepada sekitar. Menurut dia, kemuliaan hidup adalah saat pikiran, tenaga, harta dan semua potensi yang kita punya bisa membuat hidup orang lain lebih baik. Perempuan kelahiran Jakarta, 20 Maret 1968, itu kerap menyebar 'virus-virus' positif lewat media sosial. Lewat akun Twitter @fahiraidris, ia menggulirkan beberapa gerakan sosial, salah satunya Gerakan Nasional Anti Miras. "Banyak gerakan sosial yang lahir dari media sosial," ujar dia.
Belakangan ini, Fahira memperluas jalur perjuangannya ke ranah politik. Pasalnya, selama ini gerakan yang disokongnya kerap mengajukan tuntutan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Perjuangan tersebut akan lebih efektif bila dilakukan melalui mekanisme yang ada. Fahira pun memilih berkecimpung di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena menilai jalur nonpartisan ini lebih independen untuk menyampaikan aspirasi. Fahira menjadi satu-satunya calon legislatif yang mengusung isu antimiras. "Undang-Undang Anti Miras harus jadi, akan saya kejar sampai manapun," ucap dia.
Marak dan bebasnya peredaran miras di hampir semua wilayah Indonesia banyak memakan korban jiwa, terutama para remaja. Lewat Twitter, Fahira mengajak follower-nya untuk mengampanyekan bahaya miras, terutama kepada anak-anak dan remaja serta mengimbau mini market dan warung-warung agar tidak menjual miras kepada anak di bawah usia 21 tahun. Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk gerakan positif ini, di antaranya, melakukan advokasi dan audiensi dengan sejumlah pejabat pemerintahan untuk mengampanyekan dan mendesak pemberlakuan Perda Anti Miras. Fahira mengatakan, setiap orang bisa berjuang lewat media apa saja, tidak hanya terbatas pada ranah politik. "Di manapun kita, kalau mau berjuang ya berjuang saja," kata dia.
Rasa kepedulian Fahira yang tinggi terhadap sesama sudah tersemai sejak kecil. Keluarga berperan besar membentuk karakternya. Fahira mengaku ia tidak hanya diajarkan untuk berempati, tetapi langsung diarahkan pada mengubah empati menjadi tindakan nyata.
Fahira berpendapat, perubahan ke arah yang lebih baik hanya akan bisa ditempuh lewat aksi nyata. Sekadar mengeluh ataupun mencibir tak akan banyak pengaruhnya. Tindakan nyata ini pernah ditunjukkannya ketika sebagian masyarakat hanya berani mencibir aksi sweeping yang dilakukan salah satu ormas. Kala itu, Fahira lebih memilih jalan berdialog langsung dengan ormas tersebut untuk menyampaikan kritikan masyarakat secara langsung. ed: reiny dwinanda
***
Penggerak Perubahan
Setiap perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Prinsip itu harus dipegang oleh seseorang yang ingin menjadi penggerak perubahan atau sekadar berubah ke arah yang lebih baik. “Harus ada kemampuan dan kerelaan untuk menerima kelemahan, lalu belajar mengambil keputusan untuk selanjutnya keluar dari masalah,” komentar psikolog klinis dan forensik A Kasandra Putranto.
Setelah itu, cobalah realistis dengan pikiran, kembangkan kemampuan, dan analisis tindakan. Kalau tahapan tersebut sudah terlewati, tibalah waktunya untuk melaksanakan tekad. Intinya, seseorang harus mempunyai motivasi untuk berubah. "Kalau tidak punya niat itu ya susah," ucap Kasandra yang aktif menggulirkan kampanye sosial untuk anak berkebutuhan khusus.
Niat, keinginan, dan tekad merupakan faktor penting dalam pembentukan karakter seseorang. Sebagai makhluk yang berpikir, sudah seharusnya manusia bisa menimbang semua pilihan sikap atau pendapatnya. Kalau niat atau tekad itu bisa melampaui faktor biologis dan lingkungan, apa yang diperjuangkan pasti berhasil. Namun, itu bergantung dari kemauan setiap individu. Pada dasarnya setiap manusia harusnya punya kemauan untuk menentukan keadaan sesuai yang ia mau. "Kita bisa melakukan sesuatu dan tidak pasrah dengan kondisi biologis dan lingkungan," kata Kasandra.
Keaktifan seseorang mengambil peran dalam lingkungan juga tak lepas dari pengaruh keluarga. Jika sejak kecil seseorang tersebut dibiasakan mencontoh hal-hal baik, hal itu akan terbawa hingga ia dewasa. Untuk itu, baik ibu maupun ayah diimbau bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak dan tak malas memberi alasan pada anak mengapa sesuatu boleh ataupun tidak boleh dilakukan.
Kasandra berpendapat, agar seseorang menjadi pribadi yang aktif pada usia remaja, ibunya bahkan harus melatih anaknya sejak bayi. Misalnya, dengan tidak langsung memberikan benda yang ingin diraihnya. "Harus kita pancing supaya dia mau bergerak dan berjuang," ucap dia.
***
Kaum Cendekiawan
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif (UIN) Syarif Hidayatullah Musni Umar mengatakan, berdasarkan sejarah, fenomena perubahan banyak dilakukan oleh kaum muda. Sebut saja, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Begitu pula perjuangan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Orde Reformasi pun terjadi dengan desakan generasi muda.
Akan tetapi, dalam masa seperti saat ini, perubahan pada umumnya bermula dari gagasan kaum cendekiawan bebas yang mewacanakan perubahan. Pemikiran mereka kemudian diikuti kaum muda yang memiliki aspirasi untuk melakukan perubahan. Musni mengatakan, setiap pembangunan pasti menciptakan perubahan sosial. Acap kali, perubahan sosial tidak bisa dikontrol karena dinamika masyarakat yang cepat, terutama mereka yang memiliki pendidikan, modal, jaringan, dan skill. Apalagi, terhadap perubahan yang bersifat revolusioner. Perubahan ini biasanya terjadi secara mendadak karena revolusi. "Tapi, ada gejala sebelumnya, seperti timbul ketidakpuasan masyarakat yang luas karena ketimpangan sosial yang tajam, misalnya, antara mereka yang kaya dan miskin," kata dia.
Perubahan sosial harus dimulai dari perubahan cara pandang dan berpikir (mindset) serta hidup disiplin setiap pribadi dan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Perubahan sosial pun tercipta dari perubahan budaya masyarakat dalam hidup sehari-hari. Perubahan sosial dalam masyarakat kota biasanya lebih cepat dibandingkan masyarakat perdesaan. Perubahan sosial ini hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. "Pendidikan yang mencerahkan, menyadarkan, menumbuhkan akhlak mulia, dan nasionalismelah yang akan menghasilkan individu yang mampu menjadi penggerak perubahan," ujar Musni.
Sebagai penggerak utama perubahan, kaum muda harus memiliki pendidikan, cita-cita tinggi, kemauan untuk bekerja keras, kesabaran, konsistensi, dan selalu meningkatkan kualitas. Musni mengatakan, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk meraih kemajuan. Untuk itu, perlu perjuangan ekstra untuk mencapai perubahan tersebut. "Perubahan sosial harus bisa membawa kemajuan sosial ekonomi, disiplin, penegakan hukum, dan keamanan.”
Musni menilai, pengabdian di masyarakat yang tidak ada henti-hentinya merupakan investasi sosial dan politik jangka panjang yang cepat atau lambat dapat diraih. Kaum muda Indonesia sangat diperlukan peranannya hari ini dan pada masa mendatang. Untuk itu, perlu ditanamkan kepada kaum muda semangat dan optimisme dalam menghadapi hidup. Pasalnya, ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan akan semakin banyak jika ingin meraih kemajuan, kejayaan, dan kemuliaan.
rep:qommarria rostanti/ ed:reiny dwinanda