Selasa 20 May 2014 16:00 WIB

buah hati- Sedekah Kantong Plastik

Red:

Oleh Tatit Ujiani Prasetyaningsih

Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur

Setiap kali saya belanja di tukang sayur, saya selalu menolak kantong plastik yang diberikan.

Nggak baik Bu, nggak dimasukkan ke tas belanjaannya. Nanti anak perawannya nggak dilamar orang,” komentar tukang sayur.

“Untung anakku semuanya laki-laki,” jawabku sambil tersenyum.

Kebiasaan menolak kantong plastik sebagai pembungkus belanjaan saya terapkan bukan hanya ketika belanja di tukang sayur. Belanja ke pasar atau ke supermarket sekalipun, aku selalu membawa tas kain. Alasanku sederhana saja. Sampah plastik baru bisa terurai sekitar 10 sampai 20 tahun kemudian. Bayangkanlah Bumi ini akan semakin penuh dengan sampah plastik. Kasihan anak-anak cucu kita nantinya.

Ternyata, apa yang aku lakukan menjadi perhatian si bungsu Lantip (11 tahun).

“Ma, kenapa sih nggak pernah mau dikasih kantong plastik?”

“Daripada sampah plastiknya makin menumpuk di dapur,” kataku menjelaskan.

“Pasti karena takut Papa marah, ya karena mama nyusuh, mengumpulkan barang-barang seperti rumah tikus.”

Suamiku paling tidak suka kalau aku menumpuk barang bekas, seperti plastik bekas, dus bekas roti, maupun kaleng bekas roti. Kebiasaannya kebalikan denganku.

Lantip melihat tumpukan kaleng bekas roti, botol bekas minuman mineral, dan plastik di pojokan dapur.

“Ooo, benar kata Papa. Mama ini nggak mau kalah dengan tukang rombeng, pengepul barang bekas.” ujarnya bercanda.

“Lihat Ma, sampahnya menumpuk seperti bukit. Bisa-bisa, rumah kita jadi sarang tikus kalau nggak dibersihkan.”

Saya kemudian menjelaskan bahwa saya menumpuk barang bekas itu ada tujuannya. Siapa tahu masih bisa digunakan. Barang bekas, seperti botol, karung beras, dus, atau kaleng bekas bisa diberikan pada Pak Kacong, tukang sampah yang juga merangkap pengumpul barang bekas. Dia biasanya mengumpulkan barang bekas untuk dijual lagi ke pengepul sampah di kampung.

“Sedekah kok barang bekas Ma. Sedekah itu, ya uang,” komentar Lantip

“Sedekah bukan hanya berupa uang, namun bisa senyuman ataupun barang yang tak terpakai. Bagi kita mungkin barang itu tak berarti atau kurang berguna. Namun, bagi orang yang membutuhkan sangat berarti baginya,” ujarku.

Nah kalau kantong plastik yang Mama kumpulkan itu juga ada gunanya, kan? Coba Lantip ingat salah satunya?”

“Hmm…saat hujan kantong plastik berjasa melindungi tas dan sepatuku dari air. Bisa menggantikan jas. “

Barang bekas pun masih ada manfaatnya. Saat belanja aku jarang mau dikasih plastik karena ingat di dapur masih ada tumpukan kantong plastik yang belum sempat diberikan ke tukang sayur. Lebih baik memakai tas kain, kalau kotor bisa dicuci kembali. Tapi, terkadang tukang sayur tetap memaksaku memakai kantong plastik. Ada kalanya aku tak bisa menolak. Kantong plastik itu pun kukumpulkan.

“Lantip mau nggak sedekah seperti Mama? Biar dapat pahala berlipat dari Allah?” kataku.

Lantip menganggukkan kepala. Saya menunjuk tumpukan kresek plastik di dekat kulkas. Saya menyuruh Lantip memberikan tumpukan plastik yang sudah kulipat rapi kepada Pak Agus, tukang sayur yang mangkal di perempatan perumahanku.

Plastik yang sudah terkumpul itu dibawa Lantip saat berangkat sekolah dengan sepedanya.

“Ma, jadi aku sekarang juga bisa sedekah plastik ke Pak Agus,” katanya sambil tersenyum.

Untuk membuatnya bersemangat, aku memberinya hadiah tambahan uang saku Rp 1.000 setiap kali Lantip memberikan kumpulan kantong plastik ke Pak Agus. Meski dengan iming-iming, setidaknya aku telah menanamkan cinta lingkungan sejak dini dengan tindakan nyata sekaligus memberikan pelajaran bahwa sedekah tak selalu dengan uang saja. ed: reiny dwinanda

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737275
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement