Sepertinya, hampir setiap orang pernah kena mengejek ataupun menjadi korban ejekan. Ledekan kerap menjadi bagian yang seru dari suatu percakapan. Kendati berkesan negatif, bumbu dalam pertemanan ini juga memancing kreativitas. Remaja tahun 1990-an mengenalnya sebagai “seni mencela indah”. Mereka adu kreatif dalam meledek, menghindari celaan slapstick, dan tak meninggalkan rasa sakit hati di antaranya.
Celaan yang berlebihan ataupun tidak pada tempatnya tentu saja akan berdampak negatif. Apalagi, jika ditujukan murni sebagai ejekan. Bahan ledekan paling mendasar biasanya menyangkut kondisi fisik seseorang. Ada yang kemudian diberi label “Si Gendut”, “Si Hitam”, ataupun “Si Jelek”.
Psikolog dari Personal Growth, Ratih Ibrahim, mengatakan kebiasaan mengejek tumbuh akibat pengaruh lingkungan. Anak akan mencontoh kebiasaan orang tua atau adegan dari tayangan televisi yang sering dilihatnya. “Anak yang sering mendengar kata-kata pedas dari ayah dan ibunya akan mengimitasi hal serupa kepada adik ataupun temannya yang lebih kecil,” ujar Ratih.
Agar anak berhenti menjadi pengejek, orang tua harus membenahi diri. Koreksi perilaku dan luruskan pola pengasuhan. Selanjutnya, jangan beri respons positif saat anak mengejek orang lain. Misalnya, ketika anak sulung memanggil adiknya dengan sebutan “Si Gendut”, tahan tawa Anda. Ketika orang tua tertawa mendengar ledekan tersebut, anak akan menganggapnya sebagai persetujuan atas tindakannya. Ia akan ketagihan melakukannya untuk membuat orang lain tertawa. Anak tak akan mengetahui ejekan bukanlah hal yang baik untuk dilakukan dan itu bukan cara bergaul yang pantas.
Orang tua harus memperingatkan anak untuk menghentikan kebiasaan mengejek. Ajarkan anak untuk menghargai orang lain dengan tidak membicarakan dan mengolok-olok kekurangan atau perbedaan fisik, suku, ras, dan agama. Jelaskan kepada buah hati Anda bahwa ia tak akan dipandang lebih hebat dengan merendahkan orang lain. “Sebaiknya, larang anak menonton program televisi yang tidak mendidik, yakni tayangan yang pengisi acaranya kerap melemparkan ejekan kekurangan fisik kepada rekannya,” kata Ratih menyarankan. rep:qommarria rostanti ed: reiny dwinanda
***
Korban Ejekan
Bagaimana jika justru anak Anda yang menjadi korban ejekan? Ratih mengatakan untuk dapat menanggapi ejekan teman, anak perlu dibekali kemampuan bersosialisasi yang baik. Anak yang kurang terampil dalam bergaul biasanya menjadi bahan ejekan teman-temannya. Ajarkan anak untuk tidak malu dan berani bicara. Anak yang tidak canggung dalam bergaul cenderung mudah diterima di lingkungannya dan lebih rendah risikonya terkena bullying.
Dampak ejekan tersebut bisa membuat anak menjadi tidak percaya diri dan menjadi penyendiri. Untuk itu, orang tua harus mampu menunjukkan empati terhadap kesedihan anak. Dekati anak dan katakan bahwa Anda memahami perasaannya. Lantas, tanyakan pendapatnya apakah yang dikatakan teman-temannya itu benar atau salah. “Ini mengajarkan anak untuk mengenali dirinya sendiri, termasuk bentuk fisiknya,” ujar Ratih.
Orang tua harus pandai membesarkan hati anak. Bantu anak untuk melepaskan diri dari rasa kesal atau rasa rendah diri karena ejekan teman-temannya. Anda dapat menanyakan kepada dirinya tentang sosok teman yang mengejeknya. Apabila si pengejek juga sama-sama bertubuh gempal, Anda dapat membesarkan hatinya dengan mengatakan bahwa temannya yang mengejek si kecil tidak lebih cantik atau lebih tampan daripada dirinya. Dengan begitu diharapkan si kecil Anda akan memiliki keyakinan kalau dirinya tidak jelek dibandingkan dengan teman-temannya.
Mengajak bicara orang tua anak yang sering mengejek juga dapat menjadi solusi. Tentunya, emosi harus terkelola dengan baik ketika menyampaikannya. Minta dengan baik agar mereka menasihati anaknya untuk menghentikan ejekannya. “Mereka harus tahu ejekan anaknya menyakiti perasaan anak Anda dan sampaikan itu berpotensi mengganggu perkembangan emosional anak Anda,” kata Ratih.
Alternatif lainnya, sempatkan diri mendampingi anak ke sekolah. Temui anak yang kerap mengejek si kecil. Biasanya, begitu melihat Anda berada di samping si anak, teman-teman usilnya tidak akan berani melontarkan ejekan. “Kehadiran Anda menemani anak menghadapi teman-temannya akan memberikan kekuatan dan semangat kepada si kecil untuk menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya,” ujar Ratih.
Kalau cara ini tidak berhasil, orang tua bisa mendekati oknum tersebut. Ketika perilaku teman si kecil sudah keterlaluan, ajak bicarahlah ia dengan tema obrolan yang santai. Tak perlu memarahinya.
Sambil mengobrol, tanyakan kepada anak tersebut apa yang membuatnya gemar mengejek anak Anda. Bila ia tidak dapat menjawab pertanyaan Anda, katakan dengan tegas kepadanya tidak ada alasan yang kuat baginya untuk mengucapkan kata-kata ejekan seperti itu. Dengan demikian, ia akan belajar untuk tidak sembarangan mengucapkan kata-kata ejekan tersebut.