Dianugerahi paras dan tubuh yang rupawan, tak membuat Marga Alam kesulitan terjun di dunia mode. Pada era 1980-an, pria kelahiran Surabaya, 46 tahun silam ini, sukses menjadi model papan atas.
Berbeda dengan model lain yang meninggalkan panggung mode ketika usianya semakin matang, Marga justru setia di dunia yang telah membesarkan namanya itu. Namun, bukan pekerjaan sebagai model yang kini digelutinya, melainkan sebagai seorang desainer.
Busana kebaya rancangan Marga sudah lama mencuri hati para pecinta fashion. Desain yang klasik dengan detail dan aplikasi yang glamor membuat kebayanya menjadi incaran.
Kiprahnya bermula ketika ia datang dari Surabaya ke Jakarta pada akhir 1980 untuk menjadi seorang peragawan. Pengorbanan tersebut tidaklah sia-sia. Pada 1989, ia mendapat penghargaan Top Model Indonesia. "Setelah menjadi model, jalan menjadi desainer jadi lebih mudah karena sudah mengenal dekat beberapa insan mode," ujarnya.
Lulusan sekolah mode Hollywood Modiste ini pernah bekerja sebagai asisten desainer di Rudy Hadisuwarno bridal sejak 1990 hingga 1997. Awalnya, Marga dikenal sebagai desainer gaun pengantin internasional. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai melirik kebaya, tepatnya pada 1995, ketika ia berhasil tampil sebagai Juara Umum tingkat ASEAN dengan menampilkan busana pengantin Barat yang dipadukan dengan unsur kebaya.
Alhasil, setelah tujuh tahun bekerja di Rudy Hadisuwarno bridal, pada 1997 ia memutuskan untuk berhenti dan meluncurkan brand miliknya sendiri. "Berbekal niat kuat untuk berkarya dan beribadah, saya mengambil langkah ini," kata Marga.
Bakatnya merancang pakaian rupanya diwarisi dari sang nenek yang dulunya merupakan seorang penjahit kebaya kampung. "Saya banyak dipengaruhi oleh beliau," ujar pria keturunan Arab ini.
Indonesia dengan berbagai kekayaan alam dan budaya kerap dijadikan sumber inspirasinya dalam berkarya. Kecintaannya pada kain tradisional membuat Marga tidak segan mengeksplorasi berbagai potensi dari berbagai daerah, seperti dari Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa karya gaun malam yang ia kreasikan dengan memadukan batik tradisional Jawa, kain songket Palembang, hingga kain sarung Donggala, Sulawesi. Begitu juga dalam merancang motif bordir untuk kebayanya. Beragam motif bordir khas dari berbagai daerah di Indonesia kerap dijadikan sumber inspirasi untuk menciptakan inovasi baru pada motif bordir untuk kebayanya. Marga terus berusaha membuat inovasi kebaya yang tidak terpikirkan, namun tetap tidak kehilangan keanggunan kebaya itu sendiri.
Setiap meluncurkan koleksi baru, ia selalu berusaha menampilkan inovasi baru pada kebaya rancangannya. Ini dilakukan agar koleksinya selalu menjadi yang terdepan dalam tren kebaya Tanah Air. "Kalau mau jadi desainer yang bagus, harus terus berimprovisasi," katanya.
Marga juga selalu mengembangkan bentuk aplikasi untuk mempercantik kebayanya. Ia tidak sembarangan menempel payet. Sifatnya yang perfeksionis membuat Marga mengambil bagian dalam proses penyelesaian produksi kebayanya.
Setelah 17 tahun berkarya, Marga akhirnya memantapkan diri menggelar peragaan busana tunggal perdananya beberapa waktu lalu. rep:qommarria rostanti ed: endah hapsari