Ramadhan telah membuka pintunya. Kehadiran bulan suci umat Islam ini mengingatkan perjalanan kami ke sebuah negeri di Balkan yang menyimpan sejarah Islam dan juga berdarah-darah karena peperangan. Kawasan Balkan di Eropa sudah terbebas dari perang. Kehidupan berangsur normal. Negeri-negeri bekas pecahan negara Yugoslavia mulai berbenah siap menyambut wisatawan, termasuk juga Bosnia-Herzegovina. Tujuh hari saya dan keluarga habiskan di negeri ini. Mengagumi keindahan alamnya. Sisa-sisa peninggalan Turki Usmani serta sisa-sisa perang. Di ibu kotanya, Sarajevo, kita bisa menikmati ketiganya sekaligus.
Musim dingin, lalu di Sarajevo cuaca lebih ekstrem dibanding belahan Eropa lainnya. Kota ini dikelilingi pegunungan dan termasuk kota paling dingin di Bosnia-Herzegovina. Salju tebal menyelimuti sebagian kota. Kabut menemani hampir sepanjang tiga hari kunjungan kami ke sana. Tak heran jika Sarajevo pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin pada 1984.
Kota Tua Sarajevo
Dikelilingi pegunungan, konturnya berbukit, dan pusat kotanya dilewati Sungai Miljacka, itulah Sarajevo. Jantung kotanya berada di dataran rendah. Hawa musim dingin waktu itu mengharuskan saya dan teman seperjalanan mengenakan pakaian tebal, lengkap dengan sarung tangan.
Kami memarkir kendaraan di gedung parkir di antara gedung-gedung apartemen penuh lubang. Bekas berondongan peluru menghiasi gedung-gedung itu. Ngeri saya membayangkan suasana zaman perang.
Setelah melewati kompleks Universitas Sarajevo, salah seorang teman melihat sebuah jembatan yang mirip dengan dengan sebuah foto di peta panduan. "Itu jembatan tempat terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand!" serunya.
Kami bergegas mendekati jembatan yang disebut sebagai Jembatan Latina atau Jembatan Princip tersebut. Jika sempat menyimak sejarah Eropa, ternyata perang besar bukan hal asing bagi Sarajevo. Pada 28 Juni 1914 Gravilo Princip menembak mati putra mahkota Kerajaan Austria-Hungaria, Franz Ferdinand, dan istrinya, Sofia. Saat itu, Bosnia dan negeri di sekitarnya dikuasai Austria-Hungaria dan mereka ingin merdeka agar dapat membentuk negara Yugoslavia. Perang Dunia Pertama segera bergolak setelah pembunuhan tersebut.
Saya berdiri di titik tempat Princip berdiri dengan revolvernya menanti Franz Ferdinand yang sedang berpawai di mobil terbuka. Bangunan di ujung jalan tersebut kemudian beralih fungsi sebagai museum.
Hari terlihat sepi. Saya mengambil jalan ke arah Bascarsija, kawasan tua Sarajevo yang mulai berdiri sejak Turki Usmani menguasai Balkan pada abad ke-15. Tepatnya, ketika Gubernur Isa-Beg Ishakovic mendirikannya. Kemudian, Bascarsija berkembang menjadi pusat dagang, budaya, ilmu pengetahuan, serta sejarah. Meski berkali-kali hancur oleh gempa bumi, jilatan api, serta perang, beberapa bangunan bersejarah di Bascarsija masih tersisa.
Ketika azan Zhuhur berkumandang, kami berkesempatan shalat di masjid kebanggaan warga Sarajevo, Masjid Gazi Husrev-Beg. Penduduk lokal sering menyebutnya sebagai Masjid Beg (dibaca Bey).
Sebagai keturunan Herzegovina, memerintah mulai 1521, Gazi Husrev memiliki pengaruh besar di Sarajevo. Ibunya adalah putri dari Sultan Beyazid II. Di masa pemerintahannya, Sarajevo mengalami zaman keemasan. Sekolah-sekolah rakyat (madrasah), menara jam, perpustakaan, sebuah pemandian umum yang memisahkan antara pria dan wanita, penginapan, serta sebuah bazar besar didirikan.
Masjid Beg adalah salah satu yang terbesar di Balkan. Dari luar, mirip masjid di Turki. Tempat wudhu lelaki berada di luar, di sebuah tempat mirip gazebo beratap kayu berukir. Di dalam areal masjid terdapat beberapa makam. Makam Gazi Husrev terletak di satu bangunan kecil berkubah. Di seberang masjid adalah perpustakaan dan madrasah yang masih berfungsi hingga kini. Para santrinya memenuhi masjid pada waktu-waktu shalat wajib.
Di sekitar masjid penuh dengan deretan kios-kios pedagang aneka rupa, rumah makan, penginapan, dan perumahan penduduk. Jalannya bersih, barang-barang tertata rapi. Pedagang menawarkan dagangannya dengan sopan. Di musim dingin, tak terlalu banyak turis memenuhi jalanan Sarajevo.
Penjelajahan di bagian tertua Bascarsija biasanya dimulai dari Gazi Husrev Bezistan, pusat perbelanjaan masa silam yang setengah bangunannya berada di bawah permukaan tanah. Bangunan batu ini kini berisi kios-kios kecil penjual cendera mata, baju, kaus, dan perhiasan.
Dari sini kita bisa menyusuri Jalan Saraci, jalan utama Bascarsija. Berbagai barang hasil karya perajin dipajang di depan toko. Dahulu, wilayah ini memiliki 70 jenis perajin. Sebab, Sarajevo merupakan salah satu pusat dagang Balkan. Jalannya pun terbagi berdasarkan barang kerajinan yang dijual. Misalnya, ada jalan pembuat sepatu, jalan tukang emas, perajin tembaga, serta pembuat pakaian tradisional.
Saya sempat masuk Morica Han, penginapan yang sekarang berubah fungsi menjadi toko karpet, kafe, dan restoran. Musik lokal kencang terdengar. Di ujung Jalan Saraci, saya masuk jalan lebih lebar dekat terminal trem Bascarsija. Di sana berdiri salah satu objek foto terkenal Sarajevo, Sebilj.
Orang berlalu lalang di sekitarnya. Ribuan merpati beterbangan. Seorang penjual makanan burung bekerja sama dengan seorang tukang foto langsung jadi. Orang membeli makanan burung meletakkan di telapak tangannya. Burung-burung mengerubuti. Jepret, saya memotret tempat minum umum ini dari kejauhan. Bagian paling bawah tertutup keramik. Bagian tengahnya berupa kayu berukir segi delapan. Atapnya berkubah hijau di tengah. Tak terlihat orang minum di sini, mungkin karena cuaca sangat dingin.
Jika dulu Bascarsija banyak menjual barang kepada para musafir dan kabilah pedagang dari seantero Balkan, sekarang kepada para turis. Dari Sebilj, saya masuk Jalan Oprkanj. Di gang kecil itu, seni membuat dan menghias tembaga bertahan sejak abad ke-16 Masehi.
Varian barang kebutuhan rumah tangga, seperti piring, gelas, lampu, dijual bersama cendera mata. Mereka ditata di atas meja-meja depan toko. Di dalam, perajin duduk sambil membuat ukiran di lempengan tembaga. Tumpukan bekas selongsong peluru sisa perang menarik perhatian saya. Barang menakutkan itu kini berubah menjadi cendera mata perang.
Saya berjalan ke gedung bekas balai kota. Bangunannya berbeda dengan bangunan lain di Bascarsija. Ia dibangun ketika Austria-Hungaria berkuasa. Arsitekturnya mirip Masjid Hassan II di Kairo. Temboknya bergaris cokelat. Ukiran menghiasi pintu dan jendela. Ia sedang direnovasi saat saya di sana. Gedung ini juga menjadi perpustakaan yang sebagian besar bukunya terbakar ketika perang. Menyedihkan.
Pusat Kota
Menjelang sore, kami berbalik arah ke Gazi Husrev Bezistan, menyusuri sisi lain Bascarsija. Daerah ini juga pusat bisnis dan belanja Sarajevo. Berbeda dengan sisi sebelumnya yang dipenuhi pedagang dalam kios, bagian ini terlihat lebih eksklusif. Bank-bank, toko-toko dalam gedung megah, butik mahal, rumah makan internasional, hotel mewah, serta apartemen modern berjajar di sepanjang Jalan Ferhadija. Gedung-gedung itu diselingi taman-taman dan tempat peribadatan. Saya melalui masjid, gereja Kristen Ortodoks juga katedral umat Katolik.
Ada pula deretan kios di areal khusus bertuliskan Sarajevo Holiday Market. Penampilannya tampak seperti kios pasar malam. Wilayah ini juga tampak ramai orang lalu lalang. Pedagang kaki lima sesekali menawarkan balon atau mainan anak-anak. Kami membeli jus delima asli, diperas langsung di hadapan kami.
Saya mulai kedinginan. Sarung tangan tipis tak kuat menahan dingin waktu itu. Kami mencari sebuah pusat perbelanjaan agar bisa cuci mata sambil menghangatkan badan. Tapi, kami tak menemukannya. Untungnya, di ujung jalan terdapat api abadi dalam sebuah cincin hijau. Api itu berada dalam sebuah monumen untuk para pahlawan pembebas Sarajevo pada Perang Dunia II menjelang terbentuknya negara Yugoslavia.
Mata Air Sungai Bosna
Mungkin bukan sebuah ide bagus bila waktu itu kami mengunjungi mata air di tengah-tengah musim dingin yang menggigit. Tapi, kami tak bisa melewatkannya. Apalagi, lokasinya dekat dengan salah satu tempat bersejarah Sarajevo, Tunnel of Hope.
Vrelo Bosna (mata air Sungai Bosna) dan Tunnel of Hope berada di pinggiran Sarajevo. Di Illidza. Tak ada kendaraan umum menuju tempat ini. Bosna adalah nama asal bangsa Bosnia.
Saat itu, Illidza terasa lebih dingin dibandingkan Sarajevo. Salju menumpuk tebal di berbagai tempat. Pohon dan dedaunan tertutup kristal-kristal es. Kompleks taman yang biasanya hijau didominasi warna putih. Seorang penjaga duduk di ruang kecil dekat pintu gerbang. Tarif masuknya 2 KM, anak-anak 1 KM.
Entah minus berapa derajat Celsius suhu hari itu. Semuanya terihat beku dan hening. Kecuali, sungai yang riaknya terdengar di kejauhan. Tak ada orang lain datang selain kami. Saya mencari mata air Bosna. Fotonya sudah saya lihat di internet. Bertemuk etika berbelok ke arah kanan kompleks, ia keluar dari dua lubang besar membentuk sebuah telaga kecil sebelum mengalir menjadi sungai bening di kaki Gunung Ingman. Uap air beterbangan membentuk kabut. Saat disentuh, air Bosna terasa hangat. Tapi, tangan langsung beku kembali.
***
Tunnel of Hope
Sulit untuk tidak menyandingkan kata Bosnia dengan kata perang. Mengetahui saya akan ke Bosnia-Herzegovina, beberapa teman sempat melontarkan kekhawatirannya. Seolah, perang masih berkecamuk di sana.
Menurut saya, sebagai negeri yang baru saja luluh lantak dihantam perang, Bosnia-Herzegovina terlihat makmur. Listrik merata hingga pelosok desa. Kami menginap di apartemen penduduk lokal yang disewakan. Isinya tak kalah dengan rumah-rumah di belahan lain Eropa.
Walau demikian, sisa-sisa perang masih terlihat hingga kini. Ranjau darat masih bertebaran di sebagian tempat. Di antaranya, di hutan atau tanah kosong. Ada tanda merah bergambar tengkorak disilang. Artinya, tak boleh dimasuki. Rumah-rumah hancur bekas ranjau juga sering kali terlihat di desa dan di kota.
Kota Sarajevo sendiri ketika perang Bosnia berlangsung sempat diisolasi selama kurang lebih tiga tahun oleh pasukan Serbia. Kehidupan penduduk lokal sengsara. Pasokan makanan sangat terbatas. Ada yang berinisiatif untuk membuat sebuah terowongan ke daerah terdekat yang tak dikuasai musuh. Lokasinya tepat di bawah Bandara Internasional Sarajevo, antara Butmir dan Dobrinja.
Alat-alat sederhana, seperti sekop, cangkul, serta otot yang membangun terowongan penolong tersebut. Penggalian dimulai pada Januari 1993 dan selesai pada Juni 1993. Rumah milik keluarga Kolar di ujung terowongan Butmir kini menjadi sebuah museum. Bagian depan rumah berlubang besar bekas peluru, hanya jendelanya yang tampak baru. Sekitar 20 meter saja yang hanya dibuka untuk umum. Tapi, terowongan ini sudah cukup untuk mengingatkan kita akan sejarah perang Bosnia.
Info:
- Pemilik visa Schengen bisa masuk selama tujuh hari ke Bosnia-Herzegovina tanpa visa. Kunjungan lebih lama atau bukan pemilik visa Schengen bisa mengajukan visa ke Kedutaan Besar Bosnia di Jakarta. Alamat: Menara Imperium, Lantai 11, Jl HR Rasuna Said, Kav 1, 12980 Jakarta.
- Bosnia-Herzegovina, termasuk Sarajevo, relatif aman dikunjungi.
- Harga sewa penginapan per orang per malam di kota ini mulai Rp 120 ribu (dormitory), keluarga (empat orang) sekitar Rp 600 ribu. Kota Sarajevo berbukit-bukit. Pusat kotanya berada di dataran rendah. Jika ingin praktis, lebih baik mencari penginapan di pusat kota (Bascarsija).
- Mata uang negeri ini adalah Mark Bosnia (BAM/KM). Satu KM setara dengan Rp 8.000.
- Bus kota dan trem adalah transportasi utama Kota Sarajevo. Harga tiket sekali jalan 1,6 KM. Jika membeli langsung lewat sopir, 1,8 KM. Jangan lupa memvalidasi tiket tersebut saat masuk kendaraan. Tarif taksi untuk perjalanan di dalam kota juga relatif murah.
- Selain dengan pesawat terbang, Sarajevo bisa dicapai lewat jalur darat, khususnya dari negara tetangga, Kroasia. Ada bus dan kereta api Zagreb-Sarajevo, maupun bus Dubrovnik-Sarajevo. Pada musim panas, juga terdapat bus dari kota-kota besar Eropa, seperti Wina, Zurich dan Dortmund. Cek di www.eurolines.com.
Oleh Irawati Prillia
Traveler, berdomisili di Inggris
@taicing: Sarajevo, sebuah kota tua dengan pengaruh budaya Islam. ed: nina chairani