Akhir Juni lalu, saya menerima rapor Sasha untuk kedelapan kalinya selama ia duduk di bangku SD. Selama delapan kali itu, nilai dan peringkat Sasha di kelas hampir selalu sama. Nilainya mayoritas delapan dan peringkatnya bertukar posisi antara urutan ketujuh atau kedelapan dari 17 siswa.
Pencapaian Sasha relatif stagnan. Mengetahui kecenderungan tersebut, saya nyaris tidak pernah merasakan jantung berdebar ketika akan menerima rapor. Bahkan, sebelum berangkat ke sekolah atau beberapa hari sebelumnya, saya biasanya sudah bisa menebak berapa nilai dan peringkat Sasha di sekolah. Dan, tebakan saya hampir selalu benar.
Di kelas Sasha, perolehan peringkat siswa sebetulnya cukup dinamis. Tak seperti Sasha, siswa lain cukup sering bertukar posisi nomor urut tertinggi. Beberapa ibu telah bergantian maju ke depan kelas mewakili putrinya yang menempati posisi pertama. Sedangkan saya, hanya bisa menatap dari kejauhan tanpa pernah berharap akan pernah mendapat giliran.
Saya tak pernah berkecil hati ataupun sedih ketika nilai dan peringkat Sasha nyaris selalu sama. Sasha tetap begitu meski porsi jam belajarnya ditambah. Saya pun tak mau membandingkannya dengan nilai dan peringkat saya saat duduk di bangku SD yang nyaris selalu ranking satu. Akan tetapi, Sasha tahu mamanya juara kelas. "Wah, mama selalu peringkat satu, ya waktu SD?" komentarnya dengan takjub saat mengetahui nilai akademik saya.
Saya berusaha menetralisir percakapan agar Sasha tidak minder. "Mbak Sasha nggak harus seperti Mama. Pelajaran kita, kan beda. Mbak Sasha hebat, lho dapat nilai dan peringkat segitu. Kan, ada bahasa Arab dan bahasa Inggris. Mama belum tentu bisa dapat nilai sebaik Mbak Sasha kalau dulu dua pelajaran itu ada," jawab saya membesarkan hatinya.
Nilai akademik Sasha mungkin "biasa", tapi di sisi lain saya merasa Sasha memiliki nilai istimewa yang justru tak mampu saya raih saat seusianya. "Mama, tadi Alisa bilang katanya dia senang berteman denganku. Katanya aku teman yang baik," cerita Sasha suatu hari saat pulang sekolah.
"Oh, ya? Tapi hanya Alisa, kan yang bilang kalau Mbak Sasha baik?" tanya saya sekaligus mencoba meredam agar ia tidak besar kepala dengan pujian temannya.
"Dinda juga pernah bilang begitu, Ma," jawabnya dengan kalem menyebut nama temannya yang lain.
Saya diam. Soal Sasha sebagai sosok yang menyenangkan bukan sekali ini saya dengar. Beberapa kerabat dan teman pernah mengatakan hal itu saat mereka melihat bagaimana Sasha berinteraksi dengan putra-putri mereka. Saya pun sering mendapatinya bersikap lembut dan sabar kepada adiknya yang sering mengusik waktu dan barang-barangnya. Sasha juga anak yang pengalah dan menganyomi. Sifatnya itu membuat Sasha sering dikerumuni anak-anak yang lebih muda darinya.
Dari Sasha, saya kerap belajar cara menyenangkan orang lain agar betah berteman. Saya pun sering salut dengan sikapnya yang mudah memuji orang lain agar yang bersangkutan merasa senang dan tak berkecil hati. Misalnya, saat anak lain membuat karya yang kurang bagus.
Dengan kecerdasan emosionalnya yang baik itu, saya merasa tak perlu berkecil hati saat hampir selalu mendapati nilai dan peringkatnya di kelas relatif stagnan. Bagi saya, Sasha selalu istimewa. ed: reiny dwinanda
Oleh Ririn Handayani
Ibu dua anak, tinggal di Jember, Jawa Timur