Selasa 15 Jul 2014 12:00 WIB

Tergelincir ke Jurang Neurosis

Red:

Bagaimana nilai rapor terakhir ananda? Kalau ayah dan ibu terlalu gusar dengan pencapaiannya, sebaiknya renungkan kembali esensi pendidikan. Sesungguhnya, bukan hanya nilai akademis nan cemerlang yang anak butuhkan untuk menjadi individu yang unggul. Di samping itu, orang tua perlu menyadari, hanya 15 persen anak yang unggul berkat kecerdasannya di sekolah. Sebagian besar anak justru mencuat karena prestasinya di bidang lain.

Berbekal kesadaran tersebut, orang tua dapat menghindari anaknya menjadi pribadi yang neurosis. Tentunya, kondisi psikologis tersebut tak terbentuk dalam waktu singkat. Neurosis muncul akibat didikan jangka panjang yang penuh amarah, kekerasan, dan terlalu menuntut. "Ketika anak tumbuh bertemankan rasa takut dan khawatir, tubuhnya mengeluarkan adrenalin yang memengaruhi kesehatan perkembangan emosinya," kata pendiri Indonesian Heritage Foundation, Dr Ratna Megawangi MSc.

Selain pengasuhan di rumah, neurosis juga sangat mungkin muncul akibat didikan di sekolah. Sistem ranking dan penilaian yang membuat anak menjadi rendah diri dan sistem pendidikan lainnya yang menimbulkan rasa takut, khawatir, dan terkungkung juga besar andilnya. "Coba tengok kembali, apakah sekolah sudah menjadi tempat yang menyenangkan bagi ananda?" kata Ratna menyarankan.

Kecerdasan emosi anak terbentuk dari perpaduan antara pengasuhan di rumah dan sekolah. Bayangkan perasaan anak andaikan di rumah orang tuanya terbiasa emosional dan sekolahnya pun menekannya. Kondisi tersebut akan menyulitkan anak untuk mengekspresikan dirinya.

Sering kali, ketika anaknya pulang sekolah, orang tua mengondisikan si kecil dalam posisi tak nyaman. Contohnya, dengan mengecek tas si kecil, melihat nilai yang diperoleh hari itu, dan membandingkannya dengan nilai teman buah hatinya. "Perlakuan semacam inilah yang memunculkan neurosis," tutur Ratna.

Orang tua perlu menyadari kekeliruan pengasuhannya dan segera mengambil langkah korektif. Karakter anak tidak terbentuk secara instan. Kemampuan untuk mengontrol dorongan negatif harus tumbuh dari pembiasaan dan disiplin sejak kecil di lingkungan keluarga.

Anak yang kuat karakternya merupakan anak yang kuat nuraninya. Nurani memandu anak di setiap langkahnya. Ia akan terganggu, merasa bersalah ketika melakukan yang tak sesuai dengan norma. Persoalannya, nurani tidak bisa berkembang pada orang neurosis. ed: reiny dwinanda

***

Paduan Tiga Kecerdasan

Agar anak tumbuh sebagai pribadi yang unggul, bukan kecerdasan akademis saja yang mesti dikembangkan. Kecerdasan emosional dan spiritual pun tak boleh luput untuk diasah. "Keseimbangan ketiganya penting untuk dimiliki," ujar Ratna.

Tingkat kecerdasan emosional dan spiritual seseorang akan terlihat dari karakternya. Persoalannya, banyak orang yang bersekolah dan sudah dikenalkan agama sedari kecil tetapi nilai itu tak tecermin di perilaku kesehariannya. Tengok saja remaja yang tawuran di saat sahur, simpatisan capres yang dengan entengnya menyebarkan fitnah, dan orang yang gampang berprasangka atau diadu domba.

Indonesia membutuhkan generasi baru yang berkarakter dengan nurani yang kuat demi masa depan bangsa yang lebih baik. Orang yang berkarakter tidak akan sombong, egois, atau merasa paling benar. Mereka juga berempati, tidak manipulatif, dan tak gemar bergerombol secara negatif. "Hilangkan kondisi yang memunculkan neurosis," imbau Ratna.

Berharap anandanya berubah menjadi anak berkarakter positif, orang tua terlebih dahulu harus menata dirinya. Ubah perilaku negatif dan jadilah contoh yang baik untuk anak. Ingat saja, anak merupakan cerminan dari orang tuanya. "Ketika ayah dan ibu memberikan dasar yang kuat, anak akan tumbuh menjadi orang yang kuat karakternya," jelas psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo.

Orang tua harus memberi kesempatan pada buah hatinya untuk berkembang secara utuh. Bukan hanya potensi akademisnya, potensi fisik, intuitif, sosial budaya, dan kreativitasnya pun mesti terbentuk. Anda tentu tak ingin ananda tumbuh seperti anak-anak yang digambarkan oleh penelitian Harvard Graduate of Education, Amerika Serikat. "Delapan puluh persen anak yang menjadi responden mengatakan mereka lebih memedulikan prestasi akademis ketimbang membantu orang lain," tutur Vera dalam konferensi pers Misi Pahlawan Cilik Pepsodent, Selasa (1/7) silam, di Jakarta.

Untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya, anak harus merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dari kecil ia harus terbiasa memiliki harapan, bertanggung jawab pada diri sendiri, mandiri, dan berani mengekspresikan diri sendiri. Keberanian untuk bicara, kemampuan untuk membela teman, empati, dan kreativitasnya pun mesti ditumbuhkan.

Tentunya, anak membutuhkan modal dasar agar bisa menyerap stimulasi dan pendidikan di rumah maupun sekolah. "Untuk itu, ia harus sehat, mendapatkan pola asuh yang tepat dari orang tua, dan pendidikan yang ramah anak di sekolah," kata Vera. ed:reiny dwinanda

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement