Oleh:Vien Am -- Senin, 24 Oktober, 17.30 waktu Sisilia.
Pesawat EasyJet yang kami tumpangi mendarat di Bandara Boccadifalco, Palermo, Sisilia. Setelah mengambil bagasi dan mengambil kunci mobil sewaan, kami segera menuju pelataran parkir bandara. Kami sempat agak lama celingukan mencari tempat ini karena selain tanda pengumuman tidak jelas, bertanya pun sulit. Maklum, kami berdua tidak paham bahasa Italia, sementara penduduk setempat tidak berbahasa Inggris.
Namun, baru beberapa detik merasa lega setelah menemukan lokasi mobil sewaan, kami kembali tersentak kaget. GPS (global positioning system) sang pemandu jalan elektronik yang selama ini setia menemani ke manapun kami pergi ternyata tidak berhasil menangkap sinyal. Mungkinkah karena tidak cocok? Tanpa pikir panjang, segera kami pun memutuskan untuk menyewa alat canggih tersebut. Tetapi, ternyata juga habis! Terpaksalah dengan bantuan peta kecil seadanya plus GPS HP yang kurang begitu saya kenal, kami pun memulai perjalanan di pulaunya para mafioso ini.
Bandara Palermo diapit pegunungan kecil berbatu dan pantai Laut Tirenia. Jaraknya ke pusat kota sekitar 25 km. Setelah melalui jalan tol yang lumayan gelap, akhirnya kami sampai juga di hotel dengan selamat. Alhamdulillah.
Setelah check in, kami keluar lagi untuk mencari makan malam sambil melihat suasana sekitar hotel. Kesan pertama yang saya tangkap, Palermo itu gelap, agak kotor, dan lumayan kumuh. Padahal, Ibn Hawqal, seorang ahli geografi kenamaan yang telah berhasil membuat peta bumi, menyatakan kekagumannya yang begitu tinggi terhadap kota ini. Ia bahkan berani membandingkannya dengan Baghdad yang ketika itu menjadi pusat daya tarik dunia.
Ilmuwan Muslim kelahiran Turki tersebut mengunjungi Palermo pada 950 M dalam rangka lawatannya ke seluruh negeri guna memperbaiki peta yang digunakan umum ketika itu.
Dalam buku The History of Arabs karya Philip Khuri Hitti, Ibn Hawqal yang juga seorang saudagar itu menceritakan bahwa Palermo memiliki istana yang sangat indah di pusat kota. Istana yang berdampingan dengan masjid besar yang juga tak kalah indahnya itu berdiri di atas bekas Katedral Romawi. Di kota ini, berdiri tak kurang dari 300 masjid, madrasah (sekolah), pemandian, taman dan lain-lain. Ia juga melaporkan adanya universitas bernama Balerm.
Namun, hari telah larut malam ….
***
Palermo, 25 Oktober
Wuih, kalah Jakarta .… Macetnya bukan main. Ternyata kota tua ini padat penduduk. Untuk menuju jalan ke luar kota saja butuh waktu hampir dua jam! Itu pun setelah menempuh jalan berputar menghindari kemacetan. Akibatnya, kunjungan ke Monreal, kota kecil di barat daya Palermo, yang jaraknya tak lebih dari 10 km dari Palermo itu terpaksa harus di jadwal ulang.
Kami langsung menuju ke Segesta dan Selinunte yang berada di tengah dan selatan Sisilia. Di kedua kota di atas bukit ini, seperti juga di banyak tempat di Sisilia ini, kami menyaksikan reruntuhan peninggalan Romawi yang dibangun sekitar abad ke-5 hingga ke-3 SM, berupa temple (kuil kuno) dan teater Romawi. Kompleks reruntuhan ini amat mirip dengan kompleks reruntuhan yang banyak dijumpai di Roma maupun di Yunani. Sejarah Sisilia memang unik.
Pulau berbentuk menyerupai segitiga seluas 25.708 km persegi ini terletak di selatan Italia daratan yang bentuknya seperti sepatu boot. Pulau terbesar di Laut Mediterania ini terletak di sebelah timur laut Tunisia di Afrika Utara. Meskipun Sisilia saat ini berada di bawah wilayah kekuasaan Italia, pulau ini memiliki kultur khas yang berbeda dengan wilayah-wilayah Italia lain.
Tampak bahwa pengaruh beberapa peradaban besar, seperti Romawi, Byzantium, Islam, dan Spanyol, yang pernah menguasai Sisilia tidak bisa dihapuskan begitu saja. Pada masa Romawi dan Byzantium, kuil-kuil dan teater-teater Romawi dibangun. Kuil yang berdiri di Segesta dan Selinunte dibangun pada abad yang sama, yaitu pada abad ke-5 SM. Kuil-kuil di Selinunte adalah kuil Yunani yang dipersembahkan kepada Dewa Hera. Sedangkan, teater di Segesta dibangun dua abad setelah itu.
Hal lain yang juga menarik, di Segesta, tak berapa jauh dari teaternya, terpampang sebuah papan keterangan yang menerangkan bahwa di lokasi tersebut dulunya berdiri sebuah masjid. Masjid tersebut memang kecil, namun tetap saja cukup membuat hati bahagia. Apalagi ketika mengetahui bahwa mihrab masjidnya juga diberi tanda.
Setelah puas melihat kedua kota tersebut, kami kembali ke Palermo. Namun, sebelumnya kami sempatkan mampir dulu ke Monreal yang tadi pagi tertunda. Kota ini berdiri di atas bukit. Pemandangan menuju ke tempat tersebut sungguh cantik. Lampu-lampu kota berkedip-kedip di bawah sana, sementara matahari yang mulai menyembunyikan dirinya ke balik laut menambah indahnya pemandangan.
***
Palermo, Monreal, Cefalu- 26 Oktober
Di tengah kepadatan lalu lintas Palermo, akhirnya sampai juga kami ke tujuan utama kota ini. Selama perjalanan dari hotel ke tempat tersebut, kami sempat menangkap sisa napas Islam di mana-mana.
Bangunan-bangunan tuanya meski kotor dan terkesan kurang dirawat masih menyisakan "bau" arsitektur Arab-Muslim. Ternyata sejarah mencatat bahwa raja-raja Katolik Normandi—yang menguasai Sisilia tak lama setelah mengalahkan kerajaan Islam—pada 1071 mempertahankan budaya toleransi yang diwariskan kerajaan Muslim tersebut.
Selama jangka waktu tertentu, umat Islam dan Yahudi tetap diizinkan melaksanakan kegiatan di tempat ibadah masing-masing meski dengan catatan tunduk kepada peraturan penguasa. Begitu pula dengan bangunan-bangunannya. Terjadi saling pengaruh kultur agama dan budaya.
Sebelum Islam berkuasa di Sisilia, pulau ini menjadi bagian dari Byzantium di bawah Raja Justinian I. Bahasa Yunani adalah bahasa resmi mereka. Pada 652, di masa kejayaan Khalifah Usman bin Affan, pulau ini sempat dikuasai. Selanjutnya, sejak sekitar tahun 700-an, setelah pasukan Islam di bawah kekhalifahan Umayah berhasil menaklukkan Afrika Utara, pasukan ini beberapa kali mencoba menguasai Sisilia, tetapi selalu gagal.
Pada 826 M, Euphemius, seorang laksamana Byzantium, memberontak dan kemudian menjadi penguasa di Siracus, salah satu kota penting di Sisilia. Karena khawatir akan diserang Byzantium, ia memohon bantuan Ziyadat Allah, emir Aghlabid dari Tunisia, agar menaklukkan Sisilia. Maka, Ziyadat pun mengutus Asad ibn-Furat, seorang kadi (hakim) yang pernah menjadi murid Imam Malik untuk memenuhi permohonan tersebut.
Setahun kemudian, sang panglima senior yang usianya telah mencapai 60 tahun itu pun berhasil melaksanakan misinya dengan sukses besar. Ia berangkat dengan membawa 10 ribu pasukan infanteri, 700 kavaleri, dan 100 kapal. Sejak itulah dimulai dominasi Islam, yaitu Emirat Sisilia, selama 200 tahun. Sayangnya, Asad sendiri tidak lama menikmati kejayaan tersebut. Ia gugur di pertempuran.
Euphemius sendiri dibunuh satu tahun kemudian oleh seorang penjaga kerajaannya sendiri di Enna, sebuah kota di kaki Gunung Etna. Gunung Etna adalah salah satu gunung berapi berbahaya di dunia. Menurut mitos Yunani kuno, di gunung itulah monster Typhon dipenjarakan oleh Zeus, dewa langit dan petir yang disembah oleh bangsa Yunani kuno. Zeus bagi mereka adalah King of Gods alias Tuhan langit dan bumi.
Palermo baru berhasil ditaklukkan empat tahun kemudian, yaitu pada 831. Penaklukan alot ini terjadi setelah kedatangan bantuan mujahidin sebanyak 30 ribu pasukan dari Afrika dan Andalusia. Setelah itu, Palermo pun dijadikan ibu kota Emirat Sisilia dengan nama Al-Madinah yang berarti ‘The City’ atau kota. Sementara, Taormina baru jatuh pada 902 M dan seluruh pulau akhirnya takluk pada 965 M.
Di bawah kekuasaan Islam inilah Sisilia mengalami kejayaan dan kemegahan. Islam tidak saja mengajarkan pentingnya tunduk kepada Sang Khalik, tetapi juga mengajarkan bagaimana caranya memanfaatkan alam. Maka, jeruk, pistachio, dan tebu yang diperkenalkan ke daerah tersebut menjadi sumber kekayaan Sisilia. Ini berkat sistem pengairan yang diajarkan kepada mereka.
Palermo saat ini adalah kota yang amat padat. Kemacetan terlihat di mana-mana. Seperti juga di Jakarta, "pak ogah" tampaknya sudah membudaya di kota ini. Tanpa bantuan mereka, rasanya mustahil mendapatkan tempat parkir.
Ketiga bangunan tua sarat sejarah ini terlihat kotor dan kurang terawat kecuali katedralnya. Katedral ini dibangun pada 1185 M di atas bekas bangunan masjid yang tadinya juga dibangun di bekas basilika ( bangunan umum Romawi) pada abad ke-9. Hingga saat ini, sisa-sisa arsitektur Arab Normandia masih terlihat kental di ketiga bangunan tersebut.
Katedral Monreal
Monreal tak sampai 10 km dari tempat ini. Sayangnya, ternyata kami tiba di Duomo (Cathedral) de Monreale yang bekas masjid ini persis jam istirahat. Apa boleh buat, bersama para turis lain yang juga kecele, kami terpaksa menanti selama 1,5 jam di bawah hujan yang cukup lebat. Beruntung, di sekitar katedral banyak terdapat restoran. Rupanya tempat ini memang menjadi pusat wisata.
Kami masuk ke sebuah resto spesial piza, makanan khas andalan Italia yang terkenal itu. Kami pun memesan piza sayuran yang relatif aman, walaupun ternyata rasanya "nano-nano".
Tepat pukul 14.30 kami telah mengantre di depan katedral. Sepasang patung berhadapan yang sedang membawa pedang menyambut kami di depan pintu masuknya. Patung tersebut terlihat aneh dan seram karena kepalanya ditutup sehelai kain hitam. Entah apa maksudnya.
Kami terus melangkah masuk ke dalam katedral yang dibangun pada pertengahan abad ke-12 oleh Raja Norman, Wiliam II. Namun demikian, pengaruh gaya arsitektur Islam Fatimiyah dan Moor yang ketika itu sedang naik daun tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Lantai dan dinding mozaik, lekuk, dan pilar dengan gambar alam seperti bunga-bungaan dan dedaunan khas arsitektur Islam yang terlihat menjadi dasar dan latar belakang pemandangan. Lukisan Yesus dengan ukuran raksasa, Bunda Maria, para malaikat dengan sayapnya, orang-orang suci Nasrani, dan rangkaian kejadian yang tertulis dalam kitab Injil terkesan "sisipan" yang agak dipaksakan masuk ke tengah lukisan bunga-bunga dan dedaunan tersebut.
Kami terus jalan berkeliling sambil mencari-cari bekas letak mihrab, namun tanpa hasil. Setelah puas, kami lalu menuju ke bagian atas katedral melalui tangga sempit berkelok untuk melihat taman yang memang di-"declare" sebagai taman ala Islam.
Malam di Catanya
Sore harinya, kami ke Catanya melaui Cefalu dan Edna. Kami tiba di kota terbesar kedua Sisilia ini lewat tengah malam. Anehnya, di tengah remang dan kusamnya kota yang kurang penerangan ini, keramaian orang masih terlihat di mana-mana. Sebagian besar muda-mudi berkumpul di bar-bar yang banyak sekali bertebaran.
Saking penasarannya, esok malamnya saya tanyakan kepada seorang pelayan restoran tempat kami bersantap. "Jumlah bar di kota ini sudah kelewatan banyaknya,'' kata dia. ''Ini yang menyebabkan para pelajar selalu berkeliaran siang dan malam."
Catanya sering dilanda gempa dan tertimpa letusan Gunung Etna yang berdiri tak jauh dari kota. Beberapa kali kota ini harus mengalami penataan ulang karena hancur, rata dengan tanah. Itu sebabnya bangunan di Catanya didominasi bangunan berwarna hitam dan putih yang terbuat dari lava dan berbagai material muntahan gunung.
***
Taormina, Mesina - 28 Oktober.
Pagi itu kami menyusuri pantai timur Sisilia. Taormina dan Messina adalah kota tujuan terakhir perjananan lima hari kami selama berada di pulau tersebut.
Subhanallah ... letak geografis kota kecil Taormina sungguh menakjubkan. Kota wisata ini berada di atas bukit dengan pemandangan laut dan gunung yang mengelilinginya. Di puncak perbukitan inilah berdiri teater Yunani kuno, Teatro Greco. Teater ini diperkirakan dibangun pada masa kekuasaan Romawi pada abad ke-7 SM di atas bekas reruntuhan teater Yunani.
Arsitektur Romawi memang banyak dipengaruhi budaya Yunani. Pada masa itu, baik kerajaan Romawi maupun Yunani telah menjadikan pertarungan antara manusia (biasanya residivis) dengan binatang buas sebagai tontonan dan hiburan masyarakat. Saat ini, Teater Taormina masih digunakan, tetapi hanya sebagai tempat pertunjukan musik dan drama.
(Beberapa bulan kemudian, secara tidak sengaja kami menemukan lukisan teater dengan pemandangan laut yang kami lihat tersebut di Museum Du Louvre Paris. Lukisan tersebut dipajang di divisi Islam, divisi terbaru museum yang terkenal di seantero dunia itu.)
Setelah puas menikmati keindahan alam dari teater ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke ujung utara pulau, yaitu Messina. Waktu kami tak banyak. Tujuan utama kami adalah Gereja Annunziata dei Catalani.
Bekas masjid ini dikabarkan sebagai satu di antara sedikit bangunan penting yang bebas dari keganasan gempa 1906. Itu sebabnya saat ini bangunan tidak dipakai dan dipagari dengan pagar besi. Alhamdulillah, maka dengan demikian kami masih bisa melihat sisa-sisa jejak Islam di kota tua ini.
Esok paginya, setelah berkeliling sebentar melihat Catanya yang tidak sempat kami jelajahi, kami pun terbang meninggalkan Sisilia.
***
Tips :
"Siapkan waktu paling tidak lima hari. Sebab, banyak objek yang menarik untuk dikunjungi di Sisilia.
"Hindari berkunjung pada musim panas. Meskipun temperatur rata-rata 29 derajat, kenyataannya bisa jauh di atas itu. Saking panasnya, kebakaran sering terjadi di musim tersebut.
"Alat transportasi di pulau ini sebenarnya cukup baik. Tapi, di kota-kota besar, kemacetan sering sekali terjadi. Akibatnya, jadwal kunjungan bisa terganggu. Untuk antisipasinya, siapkan plan B.
"Rata-rata penduduk istirahat siang lumayan panjang, dari pukul 12.00-16.00. Jadi, datanglah berkunjung pagi atau sore hari.